Menulis Ulang Pikiran Dandhy Laksono: Kehancuran Lingkungan dan Potensi Menjadi Negara Miskin
Oleh: Muhammad Adib
Semalam, makan malam saya jadi kurang nyaman. Semuanya gara-gara saya menyimak podcast Dandhy Laksono bersama dr. Richard Lee selama sejam lebih. Obrolan mereka soal kerusakan lingkungan, politik yang menyelimutinya, dan nasib bangsa ini ke depan, bikin pikiran saya kemana-mana. Yang paling mengusik adalah proyeksi tentang apa jadinya Indonesia kalau cadangan alamnya benar-benar habis.
Dandhy langsung menohok di awal. Menurutnya, fenomena "banjir giveaway balok" yang melanda Aceh dan Sumut itu bukan bencana alam biasa. Itu adalah bencana buatan politik. Akumulasi dari deforestasi gila-gilaan selama puluhan tahun akhirnya memuncak jadi tragedi.
Yang lebih miris, respons kita terhadap bencana justru makin payah. Coba bandingkan dengan Tsunami Aceh 2004. Saat itu, korban jiwa mencapai sekitar 170.000. Tapi di hari ketiga, bantuan internasional seperti helikopter Chinook Singapura dan kapal induk AS sudah beroperasi. Cepat sekali.
Nah, lihat banjir Aceh-Sumut sekarang. Korban jiwa memang lebih sedikit, cuma ribuan. Tapi, respons tanggap darurat pemerintah? Lambat sekali. Butuh lebih dari sepuluh hari untuk mobilisasi bantuan. Infrastruktur dasar seperti listrik pun tersendat pemulihannya meski kata Bahlil ke Prabowo, semuanya aman-aman saja.
Jadi, meski teknologi sudah maju 21 tahun, kapasitas mitigasi dan birokrasi kita malah terseok. Bahkan, ada yang terlihat lebih sibuk menyinyir relawan seperti Ferry Irwandi ketimbang fokus menyalurkan bantuan. Sungguh ironis.
Lalu, bagaimana kondisi hutannya? Di Sumatera, situasinya mengkhawatirkan. Aceh mungkin satu-satunya provinsi yang masih punya tutupan hutan sekitar 50%. Itu pun karena topografinya curam, jadi susah dibabat. Plus, sejarah konflik panjang di sana mungkin bikin para oligarki berpikir dua kali untuk masuk.
Di provinsi lain, tutupan hutannya kebanyakan sudah di bawah 50%, bahkan ada yang di bawah 30%. Secara nasional, angka kita juga di bawah 50%, kecuali Papua. Ambil contoh Taman Nasional Tesso Nilo. Luasnya 80.000 hektar, kini separuhnya sudah berubah jadi kebun sawit. Singkatnya, hutan kita banyak yang sudah jadi kebun sawit.
Di tengah obrolan, Dandhy melontarkan pernyataan yang cukup menohok. Katanya, Belanda justru lebih sopan dalam mengekstraksi kekayaan alam kita dibanding semua era pemerintahan Indonesia. Serius?
Dia punya alasannya. Dulu, Belanda pakai metode tambang bawah tanah, seperti di Sawahlunto. Aktivitasnya di dalam perut bumi, jadi hutan di permukaan tetap terjaga. Fungsi hidrologis tanah pun tak terganggu.
Artikel Terkait
Jokowi Siap Bongkar Ijazah di Pengadilan, Tersangka Sindir: Yang Mana Lagi?
Petugas Lapas Banten Sabet Emas Sea Games untuk Indonesia
CFD Pontianak Bergema, Ruang Publik Berubah Jadi Panggung Kolaborasi Musik
Heboh! Dito Ariotedjo dan Davina Karamoy Dituding Pacaran, Status Instagram Istri Jadi Bahan Perbincangan