Cinta kepada Allah: Benarkah Cukup Sekadar Klaim?

- Sabtu, 13 Desember 2025 | 18:50 WIB
Cinta kepada Allah: Benarkah Cukup Sekadar Klaim?

Ibnu Katsir dalam tafsirnya bersikap tegas. Menurutnya, ayat mulia ini menjadi penilai bagi setiap pengakuan cinta. Kalau ada yang mengaku cinta Allah, tapi jalannya tidak sesuai dengan jalan Nabi Muhammad Saw, maka pengakuannya itu dusta. Baru dianggap benar kalau dia mengikuti syariat dan agama yang dibawa Nabi dalam semua aspek kehidupannya.

Beliau mengutip hadits shahih yang masyhur:

“Barang siapa yang melakukan suatu amal perbuatan yang bukan termasuk tuntunan kami, maka amalnya itu ditolak.”

Jadi, urutannya jelas. Ikuti dulu Rasulullah, baru Allah akan mencintaimu. Dan cinta Allah ini jauh lebih besar nilainya daripada cinta kita kepada-Nya. Sebagian ulama bijak bahkan bilang, yang penting bukan bagaimana kamu mencintai, tapi bagaimana caranya agar kamu dicintai (oleh Allah).

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah punya sudut pandang yang lebih psikologis. Katanya, cinta dalam ayat ini bukan perasaan pasif. Ia adalah kekuatan pendorong. Kalau kita benar-benar cinta Allah, secara naluriah kita akan cinta pada apa yang dicintai-Nya, dan puncaknya adalah Rasul-Nya. Mengikuti Rasul adalah bukti otentik. Yang menarik, Shihab melihat ayat ini sebagai “jaminan”. Kita jalankan kewajiban (mengikuti Rasul), Allah pasti penuhi janji-Nya (mencintai dan mengampuni). Ini kabar gembira yang mestinya memompa semangat setiap Muslim.

Sementara Sayyid Qutb, dalam Fi Zilalil Qur'an, menekankan bahwa ayat ini menggarisbawahi pentingnya tindakan nyata. Cinta kepada Allah harus terpancar dalam keseharian, lewat pengamalan sunnah. Janji cinta dan ampunan Allah menunjukkan betapa luas rahmat-Nya. Tidak ada dosa yang terlalu besar selama ada taubat dan usaha mengikuti jalan Nabi.

Nah, ayat ini jadi cermin yang sangat tajam buat kita, umat Islam di era sekarang. Sering kan, kita terjebak dalam “cinta yang setengah-setengah”. Cinta Allah saat rezeki lancar, tapi ogah mengikuti Rasul saat perintahnya bersebrangan dengan gaya hidup kita. Bangga dengan kejayaan Islam masa lalu, tapi malu praktikkan sunnah di kehidupan publik. Ayat 31 ini menegaskan, cinta yang diterima Allah adalah cinta total. Cinta yang membuat kita patuh total pada Rasul-Nya, tanpa banyak tawar-menawar.

Hikmah yang Bisa Kita Petik

Kata mahabbah atau cinta itu berasal dari kata ahabba-yuhibbu. Artinya, rasa suka yang mendalam. Kalau rasa ini sudah sangat kuat, bisa sampai tingkat 'ishaq (asmara). Tapi cinta kepada Allah tentu berbeda. Al-Muhasibi mendefinisikannya sebagai “kecenderungan hati yang menyeluruh, perhatian pada yang dicintai melebihi diri sendiri, jiwa, dan harta, serta kesediaan menerima perintah dan larangannya baik yang lahir maupun batin sambil tetap merasa bahwa cinta yang kita berikan masih kurang.”

Janji Allah dalam ayat ini sebenarnya adalah sumber harapan. Dia Maha Pengampun dan Penyayang. Setiap orang punya kesempatan untuk diampuni. Pesannya jelas: cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah bagian tak terpisah dari iman. Tanpa cinta, iman terasa hampa. Sebaliknya, cinta yang tulus akan mendorong kita lebih dalam lagi mendalami agama dan meningkatkan ibadah.

Cinta ini mestinya jadi motivasi utama. Ia melahirkan empati, kepedulian pada sesama, dan dorongan untuk berbuat baik. Dengan kata lain, cinta spiritual harus terwujud dalam tindakan sosial.

Pada akhirnya, cinta kepada Allah bukan sekadar ucapan atau khayalan. Ia harus dibarengi dengan sikap mengikuti Rasulullah saw, menjalankan petunjuknya, dan menerapkan manhaj-Nya dalam keseharian. Iman itu lebih dari getaran hati atau simbol yang dipajang. Iman adalah ketaatan yang nyata.

Penutup

Menyelami ayat 31 Surat Ali Imran membawa kita pada pemahaman yang dalam tentang hubungan cinta, ketaatan, dan amal dalam Islam. Cinta kepada Allah harus berbuah tindakan, terutama dengan mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW. Dalam kerangka ini, cinta menjadi penggerak untuk berkomitmen pada prinsip Islam, yang ujung-ujungnya mengantar pada ampunan dan cinta dari Tuhan.

Ayat ini mengajak kita merenung. Cinta itu butuh pengorbanan dan tanggung jawab. Bukan cuma kata-kata. Di dunia yang sering bingung mendefinisikan cinta, pemahaman ini jadi penting sekali. Cinta kepada Allah memberikan arah dan tujuan yang jelas, membantu kita hidup dengan integritas dan kedamaian.

Pada akhirnya, menelaah tafsir ayat ini mengingatkan kita bahwa cinta dalam Islam adalah perjalanan panjang. Setiap langkah untuk mengamalkannya akan mendekatkan kita pada-Nya. Dengan landasan cinta kasih, kita bisa menciptakan kehidupan yang lebih harmonis, penuh penghargaan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Sebagai penutup, mari kita jadikan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai fondasi dalam setiap langkah hidup. Di tengah dunia yang kompleks ini, penerapan ajaran cinta dari ayat ini bisa menjadi sumber kekuatan. Dengan menghayati nilainya, kita bisa bangun hubungan yang lebih baik dengan sesama dan, yang utama, dengan Tuhan kita.

"Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta.


Halaman:

Komentar