Cinta kepada Allah: Benarkah Cukup Sekadar Klaim?

- Sabtu, 13 Desember 2025 | 18:50 WIB
Cinta kepada Allah: Benarkah Cukup Sekadar Klaim?

Oleh: Fairuz Abdu Saleh

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Ayat ini, menurut Tafsir Al Jalalain, turun bukan tanpa sebab. Kala itu, ada sekelompok orang yang menyembah berhala. Mereka punya pembelaan sendiri. Kata mereka, “Kami tidak menyembah berhala kecuali karena cinta kepada Allah, agar mereka (berhala-berhala) itu mendekatkan kami kepada-Nya.” Nah, sebagai jawaban atas klaim itu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan ayat tadi. Intinya sederhana: kalau cinta kalian benar, buktikan dengan mengikutiku. Tinggalkan sesembahan selain Allah, dan tujukan ibadah hanya kepada-Nya.

Di sini letak ketajamannya. Ayat ini ibarat hakim yang adil bagi siapa saja yang mengaku cinta pada Allah, tapi hidupnya jauh dari tuntunan Nabi. Pengakuan itu dianggap dusta, sampai yang bersangkutan benar-benar mengikuti Rasulullah Saw. Segala sesuatu ditimbang dengan ini. Iman dan kecintaan seseorang kepada Allah sangat bergantung pada sejauh mana dia ittiba', mengikuti jejak sang Nabi. Dan janji Allah jelas: bila Dia sudah mencintaimu, balasannya pasti datang.

Zaman sekarang, ungkapan “Aku cinta Allah” itu mudah sekali ditemui. Terpampang di media sosial, jadi caption foto, atau jadi lirik lagu. Tapi, di balik kemudahan mengucapkannya, ada pertanyaan mendasar yang kerap terabaikan: seperti apa sih bukti cinta yang sesungguhnya? Cukupkah dengan perasaan hangat di dada? Atau ada standar yang lebih konkret, yang justru ditetapkan oleh Sang Pencinta itu sendiri?

Allah SWT tentu tidak membiarkan kita dalam kegelapan. Melalui Surat Ali 'Imran ayat 31, Dia memberikan rumus yang gamblang. Ini sekaligus ujian buat setiap pengakuan cinta. Ayat ini lebih dari sekadar pernyataan. Ia adalah kontrak spiritual yang menawarkan imbalan luar biasa: cinta balasan dari Allah dan pengampunan dosa. Mari kita selami lebih dalam maknanya, dengan merujuk para mufasir dan melihat relevansinya di kehidupan kita sekarang.

Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat

Beberapa ulama, seperti al-Hasan al-Bashri, punya riwayat menarik. Katanya, ayat ini turun menanggapi sekelompok orang ada yang bilang dari Ahlul Kitab yang ngotot mengaku cinta Allah, tapi menolak mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw. Mereka merasa nyaman dengan tradisi lama. Maka, Allah menurunkan ayat ini sebagai tolok ukur. Cinta yang asli itu harus punya bukti.

Imam Wahidi dalam Asbab an-Nuzul juga menguraikan beberapa konteks. Pertama, terkait kaum Yahudi dan Nasrani dari Najran. Mereka dengan percaya diri mengklaim, “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.” Ayat ini turun sebagai tantangan: kalau klaim kalian benar, buktikan dengan mengikuti nabi yang diutus untuk kalian, yaitu Muhammad Saw.

Kedua, berkaitan dengan kaum munafik di Madinah. Secara lahir mereka mengaku Islam, tapi hati mereka ragu-ragu. Mereka enggan, terutama saat diperintahkan berperang. Klaim cinta mereka lantang, tapi pembuktiannya payah.

Intinya, ayat ini tegas sekali. Cinta tanpa tindakan mengikuti (ittiba') hanyalah omong kosong. Ini standar universal yang memisahkan mana cinta sejati, mana sekadar retorika belaka.

Mengupas Kata per Kata

Mari kita bedah perlahan. “In kuntum tuhibbuun Allah” – “jika kalian benar-benar mencintai Allah”. Kata tuhibbuun berasal dari ahabba, yang menunjukkan kecenderungan hati yang kuat, rasa suka yang mendalam. Bentuknya yang fi’il mudari’ ini menggambarkan klaim cinta yang sering diumbar manusia.

Lalu, “Fattabi’uunii” – “maka ikutilah aku”. Kata ittabi’uunii ini punya makna mengikuti dengan sadar, berjalan di belakang, mencontoh. Bukan sekadar ikut-ikutan buta (taqlid), tapi mengikuti dengan pemahaman dan komitmen penuh, dalam ucapan, tindakan, akhlak, sampai ibadah.

Kemudian, “Yuhbibkumullah” – “Allah akan mencintai kalian”. Ini balasannya. Perhatikan, Allah tidak menyambungnya dengan kata “dan”. Dia langsung menyebut, “Allah akan mencintai kalian”. Seolah menegaskan, “Kalau kalian ikut Nabi, Aku sendiri yang akan mencintai kalian.” Cintanya jadi dua arah. Luar biasa, bukan?

Terakhir, “Wa yaghfir lakum dzunubakum” – “dan Dia mengampuni dosa-dosa kalian”. Kata yaghfir dari akar kata ghafara, artinya menutup atau menghapus. Jadi, mengikuti Nabi adalah jalan tercepat menuju ampunan. Dosa-dosa itu ditutupi, tidak dihukum.

Bagaimana Para Mufassir Memandangnya?


Halaman:

Komentar