Tapi logikanya sederhana. "Bila terdakwa banding, maka sesuai SOP, kami JPU juga akan menyatakan banding. Dan kita sudah menyatakan banding," tegasnya.
Kasus ini berawal dari vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim tersebut dalam perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah atau CPO. Belakangan terungkap, keputusan itu ternyata dipengaruhi aliran uang suap.
Uang itu, menurut fakta persidangan, diberikan oleh sejumlah advokat yang mewakili kepentingan korporasi besar seperti Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Nama-nama seperti Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe'i disebut sebagai pemberi.
Aliran dananya sendiri diatur melalui perantara. Arif Nuryanta, yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Selatan, bersama Wahyu Gunawan, disebut menerima uang terlebih dahulu sebelum kemudian dibagikan ke para hakim majelis.
Besaran nominalnya cukup mencengangkan. Arif disebut menerima Rp 14,7 miliar, sementara Wahyu dapat Rp 2,3 miliar. Djuyamto mendapat jatah Rp 9,2 miliar. Adapun Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing menerima Rp 6,4 miliar.
Atas perbuatannya, mereka terbukti melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman yang berbeda-beda.
Arif Nuryanta mendapat yang terberat: 12 tahun penjara. Wahyu Gunawan menyusul dengan 11,5 tahun. Sementara tiga hakim majelis Djuyamto, Agam, dan Ali masing-masing dihukum 11 tahun penjara. Sekarang, bola ada di pengadilan tinggi. Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya.
Artikel Terkait
Anggota DPRD DIY Kagumi Museum KAA, Dorong Yogyakarta Segera Miliki Museum Kejuangan
Prabowo Peluk Pengungsi dan Usap Keringat Bocah Korban Banjir Langkat
Pelukan Haru di Tengah Puing: Prabowo Sambangi Korban Banjir Aceh Tengah
Amuk Debt Collector di Kalibata, Lapak Pedagang Jadi Sasaran Amarah