Bicara pengalaman pribadi, saya sendiri pernah menyaksikan langsung dahsyatnya banjir bandang di Makkah. Waktu itu tahun 2005, saat saya berhaji. Air datang tiba-tiba, menghanyutkan apa saja. Sisa-sisa kekuatannya masih terlihat jelas keesokan harinya di depan apartemen saya di daerah Azizia. Lumpur dan kerusakan di mana-mana.
Jadi, apa kesimpulannya?
Setiap daerah di muka bumi ini sudah Allah tentukan kadarnya masing-masing. Indonesia, sebagai wilayah tropis, ditakdirkan punya curah hujan tinggi. Sebagai kompensasi, Allah tumbuhkan hutan lebat yang berfungsi menyerap air. Nah, kalau manusia seenaknya merusak kompensasi itu dengan menebangi hutan sementara hujan turun dengan intensitas yang sama, ya wajar saja banjir datang. Itu hukum alam yang logis.
Di sisi lain, jazirah Arab dan Timur Tengah memang gersang. Pohon sedikit, curah hujan juga rendah. Tapi bukan berarti banjir mustahil terjadi. Ketika hujan deras turun di area yang tandus dan sistem drainasenya buruk, banjir bandang tetap bisa terjadi. Itu faktanya, terbukti berkali-kali.
Lalu, menghubungkan banjir langsung dengan dosa? Itu perkara ghaib. Butuh dalil yang jelas dari wahyu untuk menetapkannya. Tanpa itu, klaim seperti itu cuma spekulasi yang berbahaya. Malah bisa menutup mata dari penyebab faktual yang sebenarnya bisa kita cegah.
Jadi, kalau memang belum paham betul, lebih baik diam dan banyak belajar. Daripada bicara ngawur dan menyesatkan banyak orang.
Demikian.
Artikel Terkait
Tragedi Tritih Kulon: Truk Tangki Semen Banting Setir, Empat Nyawa Melayang
Gelar Perkara Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Digelar Senin Depan
Bencana Sumut: Korban Tewas Capai 343 Jiwa, Distribusi Logistik Dipercepat
Ketika Bencana Melanda, Kata-kata Bisa Menjadi Pertolongan Pertama