Alternatif yang ada sekarang? Sangat terbatas. Memang ada pipa darat dari Teluk Persia ke pelabuhan di luar Hormuz, tapi kapasitasnya jauh di bawah volume yang lewat selat. Pipa East-West milik Arab Saudi, contohnya, cuma bisa mengalirkan sekitar 5 juta barel per hari ke Laut Merah. Itu jumlah yang kecil.
Rute laut lain, seperti lewat Tanjung Harapan di Afrika Selatan, cuma akan menambah ribuan mil perjalanan dan biaya yang melambung tinggi. Itu pun takkan bisa gantikan kapasitas Hormuz.
Yang lebih parah, ketergantungan ini memberi Iran ‘leverage’ politik yang tidak wajar. Tehran tahu, ancaman terhadap Hormuz membuat dunia khususnya negara-negara Asia yang haus energi akan berpikir ulang sebelum mendukung sanksi. Ini bentuk penyanderaan ekonomi global. Satu negara bisa mendikte syarat karena menguasai jalur hidup banyak negara.
Solusi jangka panjang harus agresif mendiversifikasi infrastruktur energi. Uni Emirat Arab sudah memberi contoh dengan membangun ‘Abu Dhabi Crude Oil Pipeline’ yang mengalirkan minyak langsung ke Fujairah di Teluk Oman, melewati Hormuz sama sekali. Itu langkah strategis yang bagus.
Tapi yang paling penting sebenarnya adalah transisi global ke energi terbarukan. Setiap gigawatt listrik dari tenaga surya, angin, atau hidrogen, adalah satu langkah menjauh dari ketergantungan pada minyak yang harus lewat selat sempit itu. Investasi di teknologi hijau bukan cuma urusan iklim, tapi juga soal keamanan nasional yang paling mendasar.
Permainan Kekuatan dan Pengaruh
Dari kacamata Iran, ancaman menutup Hormuz adalah sedikit dari kartu trump yang mereka pegang di meja geopolitik. Setiap kali negosiasi nuklir mentok, setiap kali sanksi ekonomi makin menyiksa, Tehran akan angkat isu ini. Pesannya jelas: “Kalau kami susah, semua orang ikut susah.”
Di sisi lain, bagi AS dan sekutunya, menjaga keamanan selat ini adalah prioritas mutlak. Armada Kelima AS yang berbasis di Bahrain terus berpatroli di sana. Bahkan sudah dibentuk koalisi internasional khusus untuk mengamankan kapal komersial.
Tapi kehadiran militer yang masif ini justru menciptakan dilema sendiri. Semakin kuat tekanan militer terhadap Iran, semakin besar kemungkinan mereka terpojok dan bertindak nekat. Lingkaran setan yang berbahaya.
Diplomasi memang diperlukan untuk meredakan panas, tapi diplomasi butuh ‘lever’. Dan ‘lever’ Iran ya ancaman itu. Sementara kehadiran militer AS, yang tujuannya mencegah gangguan, justru bisa jadi pemicu eskalasi. Kita terjebak dalam keseimbangan yang rapuh. Salah langkah sedikit, konsekuensinya bisa besar.
Mencari Jalan Keluar
Kita tidak bisa terus begini. Tidak bisa terus mempertaruhkan segalanya di atas fondasi yang begitu rapuh. Selat Hormuz adalah pengingat yang pahit: globalisasi dan saling ketergantungan juga melahirkan titik lemah yang bisa dieksploitasi. Menghilangkan peran Hormuz dalam semalam itu mustahil, tapi mengurangi ketergantungan kita secara bertahap? Itu suatu keharusan.
Untuk jangka pendek, diplomasi intensif mutlak diperlukan. Menurunkan tensi antara Iran dan Barat, mungkin dengan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir atau membuat perjanjian baru, bisa mengurangi insentif Iran untuk main ancam-ancaman. Patroli keamanan maritim internasional juga harus diperkuat, bukan sebagai ancaman, tapi sebagai penjamin netral bahwa jalur perdagangan tetap terbuka.
Untuk jangka panjang, sekali lagi, diversifikasi adalah kuncinya. Negara-negara pengimpor harus berinvestasi pada infrastruktur alternatif, pipa dengan rute berbeda, fasilitas penyimpanan yang lebih besar. Dan yang utama, percepat transisi ke energi terbarukan. Setiap tahun kita menunda transisi itu, berarti kita menambah satu tahun lagi di mana ekonomi global tetap rentan terhadap sebuah insiden di perairan sempit Teluk Persia.
Pada akhirnya, Selat Hormuz mengajarkan kita pelajaran yang keras tentang harga sebuah ketergantungan. Dunia yang cerdas adalah dunia yang belajar dari kerentanannya sendiri, lalu membangun ketahanan. Sudah waktunya kita serius belajar, sebelum semuanya benar-benar terlambat.
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam