Bayangkan ini: suatu pagi, berita utama di mana-mana memberitakan penutupan Selat Hormuz. Harga minyak langsung melesat, nyaris menyentuh 200 dolar per barel. Bursa saham global ambruk berantakan. Pabrik-pabrik, terutama di Asia, satu per satu menghentikan mesinnya. Dan yang paling terasa, antrian panjang sudah mengular di pompa bensin, penuh dengan wajah-wawat cemas.
Ini bukan adegan pembuka film fiksi ilmiah. Ini skenario nyata, ancaman laten yang terus menggantung di atas kepala ekonomi global. Intinya, ketergantungan kita yang hampir membuta pada sebuah jalur sempit di Teluk Persia itu ibarat duduk di atas bom waktu. Setiap detiknya, bom itu berdetak.
Mengapa begitu menegangkan? Coba lihat angkanya. Setiap hari, sekitar seperlima pasokan minyak dunia dan hampir 30% perdagangan gas alam cair (LNG) global harus menyusuri selat ini. Itu bukan cuma angka di laporan. Itu darah yang mengalir dalam nadi ekonomi modern kita.
Jepang, misalnya. Negeri itu mengimpor nyaris 90% kebutuhan energinya, dan sebagian besar lewat Hormuz. Lalu ada Korea Selatan, China, dan India raksasa-raksasa ekonomi yang juga bergantung pada aliran energi dari Teluk. Mereka semua terikat pada nasib yang sama di selat sempit itu.
Secara geografis, lokasinya memang sempurna untuk jadi titik bencana. Di bagian tersempit, Selat Hormuz cuma selebar 39 kilometer. Ribuan kapal tanker raksasa harus berhati-hati melintasi jalur pelayaran yang dipisahkan oleh lajur selebar dua mil saja. Cukup satu insiden serius entah karena konflik, teror, atau kecelakaan dan aliran energi global bisa lumpuh dalam hitungan jam.
Dilemanya di sini: semakin vital selat ini bagi dunia, semakin besar godaan untuk menjadikannya senjata politik. Dan siapa yang paling sadar akan kekuatan ‘lever’ ini? Iran.
Bayangan Ancaman yang Tak Pernah Sirna
Tehran sudah berkali-kali memainkan kartu ancaman penutupan Selat Hormuz. Sejak era 80-an, setiap kali tekanan sanksi internasional atau ketegangan militer memuncak, ancaman itu selalu diulang-ulang. Bagi Iran, Hormuz adalah senjata asimetris yang ampuh. Cara yang relatif murah untuk melawan kekuatan militer yang jauh lebih superior.
Dan ini bukan cuma gertakan kosong. Ingat Mei-Juni 2019? Serangkaian serangan misterius menghantam kapal tanker di perairan sekitar selat. Enam kapal rusak akibat ranjau laut, langsung memicu kepanikan di pasar energi global.
Meski Iran membantah, jejak investigasi mengarah ke mereka. Tak lama setelahnya, pada Juli di tahun yang sama, Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) menyita kapal tanker Inggris, Stena Impero, di perairan internasional. Sebuah pembalasan yang terang-terangan.
Insiden-insiden itu membuktikan dua hal: Iran punya kemampuan, dan juga kemauan, untuk mengganggu Selat Hormuz. IRGC punya armada ratusan kapal patroli cepat lengkap dengan rudal, torpedo, dan ranjau. Mereka juga ahli dalam taktik ‘serangan gerombolan’ yang bisa mengalahkan sistem pertahanan kapal perang modern.
Belum lagi rudal anti-kapal darat-ke-laut mereka yang jangkauannya bisa menjangkau seluruh lebar selat. Ditambah kemampuan menanam ranjau diam-diam, Iran bisa dengan cepat mengubah Hormuz jadi zona bahaya.
Ketegangan dengan AS terutama soal program nuklir dan sanksi hanya memperkeruh situasi. Setiap eskalasi diplomasi berpotensi meledak jadi konfrontasi militer di perairan itu. Dunia sepertinya terus berjudi dengan stabilitas ekonominya di arena yang sangat mudah meledak.
Kita Harus Berubah, Titik
Pokok masalahnya adalah ketergantungan pada satu titik ini menciptakan risiko sistemik yang terlalu besar. Dalam bahasa manajemen risiko, ini disebut ‘single point of failure’. Satu titik yang kalau gagal, bawaannya rubuh semua. Gangguan di Hormuz, bahkan cuma beberapa minggu, bisa picu krisis energi dengan kerugian triliunan dolar. Pabrik tutup, inflasi meroket, jutaan orang kehilangan pekerjaan.
Artikel Terkait
Diskusi Publik Soroti Konflik Agraria dan Perlawanan Warga Anak Tuha
Gaun Putih, Jilbab, dan Jubah Merah: Kisah Singkat Pernikahan Beda Agama yang Berakhir di Pengadilan Negeri
Bupati Lampung Tengah Terjaring OTT KPK, Diduga Terkait Suap Proyek
Cek Palsu Tiga Miliar Rupiah untuk Mahar, Kakek 75 Tahun Ditahan Polisi