Pola yang ada sekarang cenderung reaktif, bukan proaktif. Narasi resmi biasanya muncul cuma buat klarifikasi hoaks atau menenangkan situasi yang udah memanas. Posisinya jadi pengikut, sementara yang jadi trendsetter informasi justru warga biasa dengan ponsel di tangan.
Kekalahan di dunia maya ini berbahaya, lho. Ketika ruang informasi kosong dari suara resmi negara, yang akan mengisinya adalah spekulasi, teori konspirasi, dan data palsu. Orang yang panik mana sempat buka website BPBD yang jarang di-update? Mereka pasti buka grup WhatsApp atau media sosial. Di situlah pertempuran persepsi dimenangkan. Dan sayangnya, di menit-menit krusial itu, pemerintah seringnya malah absen.
Potret Buram: Hilangnya Empati dalam Data
Gabungan dari kegagapan di darat dan kekalahan di maya menghasilkan sebuah "potret buram". Buram karena publik tidak melihat wajah negara yang utuh dan punya rasa empati.
Komunikasi pejabat sering terjebak pada angka-angka statistik yang dingin. Berapa ton beras, berapa buah tenda, estimasi kerugian sekian miliar. Memang data itu penting. Tapi bagi korban yang kehilangan keluarganya, angka-angka itu terasa hampa dan tak bernyawa.
Pemerintah kerap lupa menyuntikkan empati dalam pesan-pesan mereka. Jarang terdengar narasi yang mengakui ketakutan dan trauma warga. Yang lebih sering terdengar justru imbauan normatif seperti "tetap waspada" – terdengar klise di telinga mereka yang rumahnya sudah hanyut terbawa arus.
Bencana di Sumatera ini seharusnya jadi alarm keras. Pemerintah tidak bisa lagi menangani bencana di era digital dengan gaya komunikasi jadul.
Kita butuh revolusi komunikasi bencana. Di darat, harus ada satu suara komando yang tegas, melintasi sekat-sekat instansi. Di dunia maya, pemerintah harus jadi sumber informasi tercepat, bukan yang paling lambat.
Jika kondisi "Gagap di Darat" dan "Kalah di Maya" ini dibiarkan terus, bayarannya bukan cuma kerugian materi. Yang lebih mahal adalah runtuhnya kepercayaan rakyat pada negara. Saat bencana menerpa, rakyat butuh pelita informasi yang terang benderang. Bukan potret buram yang justru menambah kebingungan.
Artikel Terkait
Gaun Putih, Jilbab, dan Akhir di Ruang Sidang: Kisah Singkat Pernikahan Beda Agama
Limbah Radioaktif Cesium-137 Dicuri, Dijual ke Lapak Bekas Cuma Rp 5 Ribu per Kilo
Bupati Lampung Tengah Terjaring OTT KPK, Status Hukum Segera Ditentukan
Rekonstruksi Tertutup Ungkap 13 Adegan Kasus Dosen vs Dokter di RS Sultan Agung