Ada hal lain yang menggelikan sekaligus menyedihkan. Sang penguasa, demi kepentingan politik sesaat, tiba-tiba pura-pura anti intelektual. Kenapa? Gampang. Itu cuma taktik untuk menutupi kegagalan dan ke-tidak-mampuan-nya yang sudah ketahuan itu.
Percayalah, hanya rezim gagal dan bobrok yang perlu bersembunyi di balik topeng. Hanya pemerintahan busuk yang haus puja-puji dari para buzzer bayaran. Dan, hanya rezim yang tidak percaya diri yang akan bersandar pada kekuatan militer dan polisi, siap memberangus suara rakyatnya sendiri.
Sebaliknya, kalau suatu pemerintahan itu beres, kompeten, jujur, dan adil, ia tidak akan takut pada kritik. Justru, ia akan membuka pintu lebar-lebar, mendengarkan masukan dari para cendekia dan orang-orang bijak di negeri ini.
____________________________________
"Made Supriatma saat ini merupakan peneliti tamu (visiting fellow) untuk Program Studi Indonesia di ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapura. Namanya cukup dikenal sebagai analis politik Indonesia, jurnalis lepas, dan komentator yang kerap membedah hubungan sipil-militer serta dinamika politik tanah air.
Analisisnya sering dikutip berbagai media, baik nasional maupun internasional. Sebut saja BBC Indonesia, Media Indonesia, hingga Al Jazeera, mereka kerap meminta pendapatnya untuk isu-isu politik terkini. Tulisannya juga menghiasi berbagai publikasi seperti Fulcrum, Project Multatuli, dan Jakarta Book Review.
Di masa lalu, Made adalah seorang aktivis di tahun 1998. Ia juga pernah menjadi bagian dari Majelis Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Artikel Terkait
11 Hari Pasca-Bencana, Ribuan Warga Agam Masih Terjebak di Balik Runtuhan
Banjir Sumatra 2025: Peringatan Sepuluh Tahun yang Akhirnya Menjadi Kenyataan
Postingan Sindiran Partai Komonis Sejahtera Picu Badai Kritik di Tengah Bencana Sumbar
Ujian Sejati Pemimpin: Saat Badai Datang, Mereka Bangkit atau Tumbang?