Banjir bandang yang melanda Kuala Sintang, Aceh Tamiang, datang begitu tiba-tiba. Tanggal 26 November lalu, air dengan cepat naik dan menutupi sebagian besar rumah. Warga seperti Mumut masih takjub mengingat kecepatannya. "Kami semua kaget," kenangnya.
Lalu, situasi berubah jadi mimpi buruk.
Mumut bercerita, mereka sempat terisolasi dan kelaparan selama lima hari. Bantuan baru benar-benar terasa pada 2 Desember. Itu pun, helikopter harus mendarat di sebuah bukit untuk menurunkan makanan dan kebutuhan pokok. Barulah saat itu, setelah berhari-hari, perut mereka terisi.
"Kami saat itu kelaparan, air bersih enggak ada," ujarnya pada Minggu (7/12).
Keterbatasan itu memaksa mereka mengambil langkah ekstrem. Selama tiga hari tiga malam, dari 26 hingga 29 November, mereka terpaksa meminum air lumpur untuk mengusir dehidrasi yang menggerogoti.
"Kami sempat minum air lumpur karena dehidrasi," kata dia, mengakui betapa putus asanya kondisi saat itu.
Di sisi lain, akses jalan benar-benar terputus. Baru pada 3 Desember air mulai surut. Namun sebelumnya, segala sesuatu menjadi langka dan mahal. Pasokan bahan bakar nyaris tidak ada.
"Akses jalan susah. BBM susah sekali, harga satu liter, Rp 100 ribu eceran. Kami memang enggak kuat lagi," ungkap Mumut. Komunikasi pun lumpuh. "Sinyal susah, charge ponsel di gedung dinsos itu."
Artikel Terkait
Kudeta di Benin Gagal, Presiden Talon Tetap Berkuasa
Prabowo Tegur Keras Kepala Daerah yang Lari Saat Banjir Aceh
Serangan Drone di TK dan RS Sudan, Puluhan Anak Jadi Korban
Arus Mendadak di Grojogan Sewu Tewaskan Wisatawan