Di tengah kepahitan, ada secercah cahaya kecil. Saat mobil pembawa makanan datang, mereka membagikan roti untuk anak-anak langsung dari jendela kendaraan.
"Anak-anak senang dan lari-lari," ujarnya, menggambarkan momen singkat yang menghangatkan itu.
Tapi situasi kesehatan jauh dari kata memadai. Korban sakit berjatuhan, namun tenaga medis sulit ditemui. "Orang sakit banyak, dokter enggak ada," katanya. Mumut sendiri baru berhasil dievakuasi keluarganya ke Binjai, Sumatera Utara, kemarin.
Sebelum pergi, pemandangan mengerikan masih membekas di matanya. Ia menyaksikan sejumlah mayat tergeletak di berbagai titik.
"Di swalayan, ada mayat. Di pohon sawit sekitar daerah rumah saya ada mayat nenek-nenek. Di Kampung Dalam, banyak (mayat) ibu-ibu berpelukan sama anaknya. Di dekat Kodim juga banyak. Di Bank Aceh, ada mayat bapak-bapak meninggal karena hipotermia," tegasnya, suaranya berat.
Tak hanya manusia, hewan ternak juga menjadi korban. Puluhan ekor lembu mati terendam. Lingkungan yang ditinggalkannya terasa hampa dan suram.
"Dehidrasi parah. Kota zombie sampai sekarang," tuturnya, menggambarkan kesan terakhir.
Kini, air banjir di Aceh Tamiang memang telah surut. Bantuan mulai mengalir lebih lancar, akses dari Medan-Binjai juga telah dibuka. Namun, bagi mereka yang mengalaminya, luka dan kenangan pahit itu butuh waktu sangat lama untuk benar-benar surut.
Artikel Terkait
Prabowo Gandakan Bantuan Bencana, Tegur Bupati yang Kabur
Zulkifli Hasan Santai Hadapi Tudingan Penyebab Bencana di Sumatera
Gempa M 2,3 Guncang Tasikmalaya, Warga Diimbau Tetap Waspada
Pungli di Jembatan Garoga Dihajar, Polisi Pastikan Lalu Lintas Kembali Aman