Pernah nggak sih, merasa hidup kita udah melenceng jauh dari rencana? Saya sering. Mata ini menatap kembali keputusan-keputusan lama, dan pertanyaan itu selalu muncul: "Kenapa ya dulu milih begitu?" Rasanya, penyesalan itu datang pelan-pelan, lalu berubah jadi ketakutan yang mengeras. Takut jalan yang ditempuh sudah salah total. Takut kesempatan untuk membenahi semuanya sudah habis. Di detik-detik seperti itu, dada serasa sesak. Pilihan yang ada seolah cuma dua: pasrah pada kegagalan atau tetap terjebak di lingkaran yang sama. Tapi, lama-lama saya sadar, ketakutan itu sebenarnya menipu.
Coba bayangkan diagram kehidupan yang kita buat waktu kecil. Yang penuh cabang dan persimpangan. Setiap titik selalu punya dua kemungkinan: benar atau keliru. Polanya nggak pernah berubah. Di setiap momen, kita selalu dikasih ruang untuk memilih. Bahkan saat kita lagi berada di jalur yang salah sekalipun, diagram itu tetap nyediakan cabang baru yang mengarah pada kebenaran.
Jadi, kesalahan itu bukan akhir segalanya. Iya, dia adalah satu cabang yang bawa konsekuensi, tapi dari situ selalu ada peluang untuk mengarahkan langkah ke tempat yang lebih baik. Masa lalu memang nggak bisa dihapus atau diubah. Tapi, arah kita ke depannya? Itu masih bisa kita pilih.
Hidup nggak pernah buntu hanya karena kita tersesat. Selama masih bernapas, kita tetap berada dalam ruang kemungkinan untuk memperbaiki arah. Allah nggak menciptakan hidup sebagai lorong satu arah yang tanpa pintu keluar. Hidup ini mengalir, dan dalam alirannya selalu terselip kesempatan untuk berubah.
Salah pilih itu sudah jadi bagian dari jadi manusia. Kita memilih dalam keterbatasan, dengan pengetahuan yang nggak lengkap, ditambah emosi yang suka naik-turun. Banyak yang ngalamin: salah ambil pekerjaan sampai hidup terasa berat, salah ucap yang bikin hubungan renggang, atau terburu-buru ambil keputusan. Semua itu nggak bisa dihapus, tapi bisa jadi titik awal buat memilih dengan lebih tepat.
Memperbaiki langkah juga nggak gampang. Butuh nyali untuk mengakui kesalahan. Butuh kerendahan hati untuk membenahi yang keliru. Tapi, langkah pertamanya nggak harus muluk-muluk. Kadang, cuma perlu berhenti sebentar, menenangkan pikiran, minta pendapat orang yang lebih berpengalaman, atau sekadar mengubah satu kebiasaan kecil yang bikin kita sedikit lebih dekat ke jalur yang benar. Keputusan-keputusan kecil itu tetap berarti, karena dari situlah cabang baru dalam hidup kita mulai terbentang.
Artikel Terkait
Lima Hari Terjebak Banjir, Satu Sendok Nasi untuk Bertahan Hidup
Solidaritas di CFD: Komunitas Disabilitas Galang Rp 200 Juta untuk Korban Banjir Sumatera
15 RT di Jakarta Timur Tergenang, Air Capai 80 Sentimeter
Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Perbatasan Alaska-Kanada, Puluhan Susulan Menyusul