Poros Jakarta Raya: Hentikan Serakahnomic, Wujudkan Ekonomi Berkeadilan
Catatan dari sebuah diskusi di Kedai Tempo, awal Desember lalu.
Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar musibah alam biasa. Bagi sejumlah aktivis yang berkumpul di Jakarta, tragedi itu adalah bukti nyata dan yang paling mutakhir dari sebuah sistem ekonomi serakah yang mereka sebut "Serakahnomic". Mudaratnya, kata mereka, jauh lebih besar ketimbang manfaat yang dijanjikan. Suasana itu mengemuka dalam diskusi bertajuk "Darurat Kedaulatan dan Darurat Bencana Lingkungan di Indonesia" yang digelar Poros Jakarta Raya.
Acara pada 3 Desember 2025 itu dihadiri oleh aktivis lintas generasi, dari era 80-an hingga yang masih muda. Moderatornya, Teddy Wibisana, membuka dengan pernyataan tegas. Menjaga kedaulatan bangsa, menurutnya, tak cuma soal menambah anggaran militer.
"Anggaran pertahanan kita naik 47 persen. Alhasil, anggaran untuk layanan publik terpangkas. Tapi lihatlah, kita justru tak berdaya menghadapi bencana ekologi akibat keserakahan pejabat dan pengusaha perambah hutan. Lebih konyol lagi, kita malah kaget saat bandara IMIP di Morowali beroperasi tanpa otoritas negara yang jelas," ujar Teddy.
Narasumber pertama, Standarkiaa Latief, langsung menyinggung akar masalah banjir di Sumatera: deforestasi yang tak terkendali. Memang, penggundulan hutan sudah terjadi sejak Orde Baru. Namun, lajunya justru makin masif dalam sepuluh tahun terakhir, periode pemerintahan Joko Widodo.
Menurut Kiaa sapaan akrabnya puncak masalah adalah ketika pemerintah memberi "karpet merah" kepada oligarki melalui UU Omnibus Law. Aturan itu memudahkan segelintir orang mengeruk sumber daya alam seenaknya. Dampaknya masih terasa sampai sekarang, di awal pemerintahan Presiden Prabowo, berupa banjir bandang yang menyemburkan jutaan kubik kayu gelondongan ke permukiman warga.
Di sisi lain, beban utang luar negeri era Jokowi disebutnya membuat pemerintahan sekarang "ngos-ngosan". Ruang fiskal yang sempit diduga menjadi alasan lambatnya pengumuman status darurat bencana nasional. Padahal, data BNPB waktu itu sudah mencengangkan: 865 orang meninggal, 463 hilang, dan pengungsi mencapai 836 ribu jiwa yang sangat butuh logistik dan air bersih.
Artikel Terkait
Lima Anak Kalbar yang Menggebrak 2025: Dari Kursi Menteri hingga Gelar Juara
Asisten Virtual UGM Salah Jawab, Sebut Jokowi Tak Lulus dari Kampusnya
Tiga Menteri Dikritik Usai Bencana Sumatra, Mundur dengan Elegan Hanya Imaji?
Tiga Raksasa Industri Dihentikan, Pemerintah Ambil Sikap Tegas Atas Banjir Sumatra Utara