Dalam pernyataannya, Mualem tampak geram dengan sikap sebagian kepala daerah. Menurut pengamatannya, mereka terlalu mudah menyerah ketika dihadapkan pada situasi darurat yang menantang.
“Ini saja sudah melakukan diri, cengeng. Siapa suruh naik jadi pemimpin kalau sedikit persoalan sudah menyerah?,” sindirnya.
Bagi Mualem, banjir dan longsor yang melanda Aceh kali ini bukan bencana biasa. Skalanya begitu luas, hingga dia sampai mengibaratkannya sebagai “tsunami kedua” bagi Tanah Rencong. Situasi semacam ini, tegasnya, membutuhkan kepemimpinan lapangan yang kuat dan nyata. Bukan sekadar rapat koordinasi di balik meja yang nyaman.
Faktanya, kondisi di lapangan memang parah. Dari total 23 kabupaten/kota di Aceh, 18 di antaranya terdampak. Banyak wilayah terisolasi, sulit dijangkau. Membuka akses darat menjadi tugas paling mendesak saat ini agar bantuan logistik bisa menyusuri desa-desa yang terputus.
Memang, bantuan sudah mulai menjangkau kawasan yang sebelumnya terisolasi. Sebut saja Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, hingga Aceh Tamiang. Namun begitu, distribusi masih terkendala berat. Banyak ruas jalan rusak parah, dan di beberapa titik, satu-satunya harapan adalah jalur udara.
Pemerintah Aceh sendiri terus memantau perkembangan dan mengoordinasikan penanganan darurat lintas sektor. Prioritas utama kini adalah membuka akses secepat mungkin, mendistribusikan logistik, dan menangani para pengungsi dengan layak.
Di balik situasi yang penuh luka dan kehilangan ini, suara Mualem setidaknya menggambarkan sebuah harapan. Dia menegaskan Aceh tidak boleh berjuang sendirian. Semua pihak, terutama para pemimpin di daerah, harus benar-benar berdiri di garis depan. Memastikan setiap warga yang terdampak segera mendapat pertolongan yang mereka butuhkan.
Artikel Terkait
Kontroversi di Jalur Malang-Kediri: Pelajar SMK Tewas Terseret Arus Usai Tabrakan Beruntun
Anak Ustaz Evie Effendi Laporkan Ayahnya ke Polisi, Terlibat Kasus KDRT
Menteri Kehutanan dan Ritual Restu Presiden: Saat Hukum Menunggu Izin Politik
Senyum Kembali di Tenda Pengungsian, Gibran Prioritaskan Ibu Hamil dan Balita