Di Tengah Deru Modernisasi, Bisakah Indonesia Menjaga Keluhuran Bangsa?

- Jumat, 05 Desember 2025 | 09:00 WIB
Di Tengah Deru Modernisasi, Bisakah Indonesia Menjaga Keluhuran Bangsa?

Bangsa yang Luhur dan Bernilai: Sebuah Tuntutan Moral di Tengah Kemelut Zaman

Indonesia saat ini benar-benar ada di persimpangan. Di satu sisi, kemajuan terlihat nyata. Gedung-gedung tinggi menjulang, teknologi merambah ke segala penjuru. Tapi di sisi lain, ada rasa was-was. Kita seperti lari kencang, namun kerap lupa arah. Fondasi kemanusiaan kita, perlahan tapi pasti, mulai terabaikan. Di tengah deru modernisasi yang tak terbendung ini, satu pertanyaan penting mengemuka: masihkah kita sanggup menjaga keluhuran sebagai sebuah bangsa? Ataukah kita hanya akan jadi kerumunan yang kehilangan jati diri?

Peringatan Sutan Sjahrir dulu terasa sangat dalam. Kata-katanya masih menggema sampai sekarang.

Pesan itu justru makin relevan di zaman sekarang. Musuh kita hari ini bukan lagi kolonial asing, melainkan hal-hal yang lebih halus dan berbahaya: kemalasan berpikir, sikap masa bodoh terhadap moral, dan integritas yang terus tergerus.

Lihatlah realitasnya. Kita sering bangga menyebut diri bangsa besar. Tapi kebesaran itu sejatinya bukan soal angka atau luas wilayah, melainkan soal tegaknya nilai-nilai di ruang publik. Di sinilah masalahnya. Korupsi masih saja menjerat, etika dikorbankan untuk kepentingan pragmatis. Masyarakat pun mulai terbiasa dengan kebenaran yang kabur yang salah bisa tampak benar, dan sebaliknya.

Dalam situasi semacam ini, kita perlu merenungkan kembali pesan Mohammad Hatta.

Intinya jelas: mustahil tercipta keluhuran jika kita hanya diam. Hanya jadi penonton yang pasif, membiarkan kerusakan moral terjadi di depan mata. Demokrasi menuntut lebih dari itu. Ia butuh keberanian untuk bersikap jujur, membela yang benar, dan menolak kebiasaan buruk yang sudah dianggap biasa.

Lalu ada soal keberagaman. Ini adalah modal dasar kita. Namun belakangan, keberagaman justru sering dijadikan alat politik untuk memecah belah. Polarisasi makin menjadi-jadi. Bukan karena perbedaan tak bisa diatur, tapi karena perbedaan itu sengaja dikobarkan untuk keuntungan sesaat.

Di dunia maya, situasinya makin parah. Ujaran kebencian menyebar bak virus. Percakapan yang sehat dan jernih sulit ditemukan. Yang ada hanyalah gema dari ruang gema masing-masing, penuh dengan amarah dan prasangka.

Padahal, bangsa yang luhur tak mungkin dibangun dari emosi semacam itu. Keluhuran memerlukan kedewasaan. Butuh kemampuan untuk melihat orang lain sebagai sesama, bukan musuh yang harus dikalahkan. Kemajuan teknologi saja tak cukup. Bangsa besar lahir dari kematangan moral warganya.

Ambil contoh kehidupan di kota besar seperti Jakarta. Di sini, tantangan modernitas terasa paling jelas: individualisme yang kian menjadi, kesenjangan yang menganga, dan rasa solidaritas yang memudar. Gotong royong, yang dulu jadi napas kehidupan, kini seperti barang langka. Semua sibuk dengan urusannya sendiri. Masalah bersama banjir, polusi, ketimpangan seolah cuma jadi beban pemerintah.


Halaman:

Komentar