Dari atas langit Aceh Tamiang, pemandangannya sungguh memilukan. Kamis lalu, 4 Desember, udara masih basah oleh bayangan bencana. Banjir bandang yang melanda telah mengubah wajah permukiman di bawah. Bangunan-bangunan tampak remuk, sebagian nyaris rata dengan tanah. Di antara genangan lumpur yang luas, tumpukan kayu-kayu berserakan menutupi atap rumah, seolah menyelimuti kenangan penghuninya.
Menurut sejumlah saksi, kejadiannya begitu cepat dan dahsyat. Air datang membawa segala yang dilintasinya.
Namun begitu, dampaknya ternyata jauh lebih luas. Bencana hidrometeorologi ini tak hanya menyentuh Aceh Tamiang. Data terbaru dari Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh, yang dirilis Selasa (2/12), memberikan gambaran yang lebih suram. Angkanya mencengangkan: lebih dari 1,4 juta jiwa terdampak.
Bayangkan saja. Ribuan desa tepatnya 3.310 desa di 18 kabupaten dan kota se-Aceh merasakan dampaknya. Ini bukan lagi sekadar peristiwa lokal, melainkan sebuah ujian besar bagi seluruh provinsi. Kerusakan infrastruktur, rumah yang hanyut, dan kehidupan yang tiba-tiba terhenti menjadi pemandangan umum di banyak tempat.
Pemulihan pasti akan panjang. Butuh waktu untuk membersihkan lumpur, membangun kembali, dan yang paling sulit: memulihkan rasa aman. Pantauan udara itu hanyalah gambaran awal dari sebuah pekerjaan besar yang menanti.
Artikel Terkait
Kecerdasan yang Tersesat: Saat Akal Budi Jadi Alat Pembenaran
Pemimpin Geng Gaza yang Diduga Kolaborator Israel Tewas dalam Insiden Penembakan
Pencitraan di Tengah Bencana: Ketika Solidaritas Warga Mengalahkan Gagalnya Negara
Di Balik Kabut Pidie Jaya: Jembatan Putus, BTS Mati, dan Perjuangan Pulihkan Komunikasi Pasca-Bencana