Kesalehan Kosmetik: Ketika Ibadah Hanya Jadi Hiasan Tanpa Nurani

- Kamis, 04 Desember 2025 | 11:25 WIB
Kesalehan Kosmetik: Ketika Ibadah Hanya Jadi Hiasan Tanpa Nurani

Shalat Bukan Pelarian, Tapi Revolusi

Dalam ideologi Islam yang sejati, shalat seharusnya adalah deklarasi perlawanan.

Allahu Akbar berarti menolak segala berhala: tirani, uang, kekuasaan yang korup.
Hayya ‘alal falaah adalah panggilan menuju kemenangan sosial, bukan kemenangan egoistik pribadi.
Iyyāka na‘budu artinya kita hanya tunduk pada-Nya, bukan pada penindas.
Assalāmu ‘alaikum adalah janji untuk mengantarkan damai, bukan sekadar salam kosong tanpa tindakan lanjut.

Gutiérrez menegaskan, doa sejati adalah tindakan historis. Berdoa berarti bertindak dalam sejarah untuk mengakhiri penderitaan. Kalau shalat tidak mengubah struktur ketidakadilan, maka ia cuma suara tanpa tubuh. Teologi pembebasan menuntut ibadah jadi aksi transformatif, bukan anestesi moral atau bius yang menidurkan.

Tapi apa jadinya kalau umat justru mengubah shalat jadi anestesi moral itu? Ketika sajadah jadi tiket pelarian dari realitas, bukan basis perlawanan? Saat itulah agama berubah. Dari cahaya pembebasan, ia menjadi selimut kemunafikan yang tebal.

“Khairunnās anfa‘uhum lin-nās.”: Bukan Hiasan Dinding

Hadits ini bukan kata-kata mutiara lembut untuk dibingkai cantik di ruang tamu. Ia adalah palu teologis yang harus menghancurkan egoisme religius kita. Ia manifesto ideologis: kesalehan hanya sah kalau berpihak pada manusia.

Sebaik-baik manusia bukanlah yang bacaan shalatnya paling merdu. Bukan yang penampilannya paling rapih dan suci. Bukan pula yang punya pengikut dakwah paling banyak.

Tetapi yang paling keras melawan ketidakadilan, dan paling besar manfaatnya bagi manusia lain.

Tanpa itu, ibadah kita hanyalah parade. Pameran kesombongan spiritual belaka.

Bagi Gutiérrez, keberpihakan pada orang miskin adalah “opsi preferensial”. Itu pilihan moral yang wajib, bukan sekadar opsi. Iman sejati diuji dalam keberpihakan, bukan dalam kemewahan seremonial. Tuhan tidak hadir dalam dekorasi masjid yang mewah, tapi dalam tubuh mereka yang terinjak dan tertindas.

Mari jujur, walau sakit. Banyak dari kita lebih takut kehilangan surga, daripada kehilangan nurani. Lebih gentar pada api akhirat, daripada pada api penderitaan manusia yang terpanggang hari ini di dunia. Lebih rela memoles kesucian diri sendiri, daripada menyembuhkan luka sesama.

Dan mungkin, nanti di Hari Pembalasan, suara paling mengguncang bukan teriakan para pendosa. Tapi rintihan pilu mereka yang dulu dibakar dalam neraka dunia oleh tangan-tangan para ahli ibadah.

Sebab, tiada artinya sujud panjang jika kaki tak berjalan menuju keadilan. Tiada gunanya air mata shalat jika hati membatu terhadap kesusahan manusia. Dan tak ada maknanya takut pada neraka, jika kita sendiri sibuk menciptakan neraka bagi orang lain.

Sebelum azan berikutnya berkumandang, ada satu pertanyaan menggantung yang tak bisa kita hindari:

“Sebenarnya, kita ini menyembah Tuhan atau hanya menyembah ego sendiri?”


Halaman:

Komentar