"Rakyat tidak segan-segan nyumbang ayam, nyumbang beras, beli daging. Muktamar tidur di tenda di pesantren," kenang Mahfud. "Gak ada hotel, gak ada naik private jet."
Ia juga merindukan wibawa para kiai besar zaman dulu. Sebut saja Kiai Asad, Kiai Ali Maksum, atau Kiai Ahmad Siddiq. Saat mereka berbicara, semua pihak mendengarkan dengan khidmat.
"Kalau Kiai Asad ngomong udah diam, Kiai Ali Maksum ngomong diam. Yang lain semua mendengarkan," ujarnya, lalu dengan nada getir menambahkan, "Sekarang ini ngomong malah yang ngomong yang diantem balik."
Melihat situasi ini, Mahfud tak bisa tinggal diam. Ia menyuarakan seruan islah, perdamaian, agar konflik segera dituntaskan hingga Muktaran berikutnya. Kekhawatirannya nyata: jika dibiarkan berlarut, kerusakan di tingkat bawah akan semakin dalam.
"Agak susah ini NU ke depan kalau tidak segera melakukan islah. Kasihan di bawah itu gak bisa bergerak," imbaunya.
Pesan penutupnya tegas. NU, baginya, adalah organisasi yang terlalu besar dan berharga untuk dikorbankan oleh persoalan semacam ini. Tugasnya adalah kembali menjadi kekuatan masyarakat yang mencetak kader bangsa, bukan terjebak dalam urusan politik dan bisnis yang langsung.
Artikel Terkait
Anak Menkeu Sebut Nama, Saham PT Toba Pulp Lestari Anjlok
Prudential Turun ke Kampus, Bekali Mahasiswa Hadapi Godaan Pinjol dan Judi Online
Kadisporapar Kalbar Bawa Aspirasi Atlet ke Kantor Staf Kepresidenan
Idealisme yang Tergadaikan: Saat Harga Diri Dipertaruhkan di Tengah Kemajemukan