Suasana podcast itu santai, tapi nada bicaranya terdengar berat. Mantan Menko Polhukam, Prof. Mahfud MD, tak bisa menyembunyikan kerinduannya. Yang ia rindukan adalah Nahdlatul Ulama atau lebih tepatnya, citra NU masa lalu yang taat pada ulama dan jauh dari hiruk-pikuk rebutan proyek. "Saya merindukan NU yang taat pada ulama, tidak rebutan proyek," ujarnya dalam podcast Terus Terang, Selasa lalu.
"Gak ada itu urusan ngurus perusahaan, ngurus tambang," tegas Mahfud.
Kenangan itu bukan datang tanpa alasan. Latarnya adalah konflik internal yang sedang memanas di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Menurut pengamatan Mahfud, saling pecat antara Rais Aam Miftachul Akhyar dan Ketua Umum Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) itu punya akar masalah yang jelas.
"Ini gak bisa dibantah bahwa asal muasalnya soal tambang," katanya tanpa ragu. "Sekarang mereka semua juga sudah bilang bahwa ini memang asalnya tambang."
Dampaknya? Cukup parah. Struktural di bawah seperti PWNU dan PCNU jadi serba salah, kesulitan bergerak karena berbagai Surat Keputusan macet di tingkat pusat. Situasi yang menurutnya sangat merugikan.
Lalu, ia pun melayang ke masa lalu. Ke era 80-an, saat Muktamar NU di Situbondo (1984) dan Krapyak, Yogyakarta (1989) digelar dengan cara yang jauh berbeda. Kala itu, semua dibiayai oleh sumbangan sukarela dari rakyat.
Artikel Terkait
Anak Menkeu Sebut Nama, Saham PT Toba Pulp Lestari Anjlok
Prudential Turun ke Kampus, Bekali Mahasiswa Hadapi Godaan Pinjol dan Judi Online
Kadisporapar Kalbar Bawa Aspirasi Atlet ke Kantor Staf Kepresidenan
Idealisme yang Tergadaikan: Saat Harga Diri Dipertaruhkan di Tengah Kemajemukan