Otak dalam Cengkeraman Gula: Mengapa Manis Bisa Jadi Jerat Dopamin

- Rabu, 03 Desember 2025 | 07:06 WIB
Otak dalam Cengkeraman Gula: Mengapa Manis Bisa Jadi Jerat Dopamin

Dampak jangka panjangnya perlu diwaspadai. Paparan dopamin berlebih dari gula secara terus-menerus bisa bikin sistem reward otak kacau. Awalnya memang menyenangkan, tapi otak akan beradaptasi dengan menjadi kurang sensitif. Ini persis seperti proses toleransi. Untuk merasa puas, porsinya harus ditambah. Perlahan, kemampuan otak dalam mengontrol impuls dan pengambilan keputusan bisa terganggu. Jika dibiarkan, pola ini berisiko memicu makan berlebihan yang kompulsif, dan pada akhirnya meningkatkan ancaman obesitas serta penyakit metabolik.

Lalu, adakah cara untuk memutus siklus ini?

Tentu saja. Kuncinya ada pada konsistensi, bukan perubahan drastis. Coba kurangi frekuensi dan porsi gula secara bertahap. Ganti camilan manis dengan potongan buah segar atau pilihan yang lebih sehat. Kita tidak perlu menghilangkannya sama sekali, tapi atur jadwal. Misal, "Saya hanya akan menikmati dessert di akhir pekan."

Selain itu, cari cara lain untuk mengelola emosi. Daripada langsung membuka lemari es saat stres, coba minum air putih, jalan kaki sebentar, atau lakukan hobi yang menyita perhatian. Olahraga ringan rutin juga bisa membantu menyeimbangkan kimia otak.

Perubahan kecil yang dilakukan terus-menerus jauh lebih efektif. Lambat laun, pola adiktif terhadap gula akan melemah dan kestabilan emosi pun lebih terjaga.

Intinya, ketertarikan kita pada makanan manis itu lebih dari sekadar gurauan lidah. Ini tentang cara otak memproses kenikmatan dan penghargaan. Saat sistem dopaminergik aktif, berbagai wilayah otak berkolaborasi menciptakan sensasi puas sekaligus keinginan untuk mengulang. Sayangnya, kalau terus dipaksa, sistem ini bisa rusak dan memicu perilaku yang mirip kecanduan.

Namun begitu, kabar baiknya adalah kita tidak powerless. Dengan memahami cara kerjanya, kita punya peluang untuk mengambil kendali. Mulai dari mengurangi asupan gula, memilih alternatif sehat, hingga mencari pelampiasan emosi yang lain. Tujuannya sederhana: menyeimbangkan kembali sistem reward otak. Pada akhirnya, pengetahuan ini memberi kita kekuatan untuk mengatur pola makan dengan lebih bijak, demi hidup yang lebih sehat dan terkendali.

Penulis : Alfarani Adelia Riswanti


Halaman:

Komentar