Seorang lelaki muda yang matanya tak lepas dari ponsel, menurunkan gadgetnya. Seorang perempuan paruh baya yang sedang menulis surat, berhenti menggigit pulpennya. Lukisan itu seolah menatap balik dengan pengetahuan aneh, nyaris manusiawi.
Guntur si barista hanya tersenyum kecil. Tenang, ia mengambil cangkir kosong dan mulai menyeduh kopi. Gerakannya penuh keyakinan.
Buih kopi berputar-putar di cangkir. Dari sana, seolah tercipta siluet ladang kering, langit berwarna tembaga, dan sebuah sosok yang berjalan sendirian di bawah cahaya senja. Lukisan kambing hitam itu menjadi saksi bisu di warung kopi yang unik ini. Suasana sunyi sejenak, seperti halaman buku baru yang belum terjamah.
Kemudian, dengan energi yang lebih cair, obrolan pun mengalir lagi. Dari ngopi-ngopi biasa, akhirnya terbetiklah rencana yang lebih konkret: sebuah program pameran lukisan untuk peduli bencana di Sumatra dan Aceh. Rupanya, malam itu bukan cuma pertemuan biasa.
Kafe itu telah menjadi ruang di mana segala yang tak terucap akhirnya menemukan jalannya. Kopi tetap dituang, bisik-bisik tentang memajukan Cirebon tetap menggantung di udara. Saya jadi teringat, dalam udara dingin sisa hujan, bahwa kota ini memang telah melahirkan banyak maestro: Affandi, Arifin C. Noer, N. Riantiarno, hingga Rastika sang pelukis kaca ternama.
Mungkin setiap pintu yang terbuka, seperti pintu kafe ini, menyimpan harapannya sendiri. Harapan bahwa segala yang kerap disalahkan seperti sang kambing hitam pada akhirnya akan menemukan jalannya, lalu melangkah bebas. Malam itu kami pun berpamitan, masing-masing membawa cerita, kembali ke Bandung dengan kenangan yang tak sekadar tentang secangkir kopi.
(aendram)
Artikel Terkait
Ridwan Kamil Diperiksa KPK, Mobil Mewah dan Aliran Dana Iklan BJB Jadi Sorotan
Di Tengah Duka Bencana, Gubernur Sumbar Batalkan Pesta Pernikahan Anak
Kejagung Selidiki Keterkaitan Pembalakan Liar dengan Banjir Bandang di Sumatera
Bencana Berulang di Sumbar, Sumut, dan Aceh: Alam Murka atau Ulah Manusia?