Kopi, Kanvas, dan Seekor Kambing Hitam di Cirebon
Aroma kopi selalu menggantung di udara kafe mungil dekat Trusmi, Plered ini. Ia bercampur dengan bisik-bisik pengunjung yang kerap tak selesai jadi percakapan. Di tempat ini, cangkir-cangkir kopi tak cuma jadi wadah. Mereka adalah kanvas-kecil yang menunggu kisah.
Mas Guntur, sang barista sekaligus pelukis di balik meja, adalah lulusan DKV asli Cirebon. Ia juga aktif di Peguyuban Pelukis Cirebon (PPC). Tangan yang sama yang meracik V60 yang mantap, juga yang melukiskan gelombang kenangan di atas kertas.
Saya diajak ke Natura Cafe ini oleh Casjiwanto Pelukis, seorang seniman lulusan UNJ Jakarta yang darah Cirebonnya tak perlu diragukan lagi. Katanya ada program pameran yang akan digelar. Tapi malam itu, yang lebih menarik justru suasana yang tercipta.
Rupanya bukan cuma Casjiwanto. Hadir juga Mas Esa Muhammad, maestro lukis kaca Cirebon, dan Kang Dadang, sesama pelukis. Bahkan dua penari dan seorang pemain teater asal ISBI Bandung turut meramaikan. Pengunjung datang tak melulu untuk kopinya, tapi juga untuk menyaksikan bagaimana suasana ngopi yang intim bisa diubah menjadi sebentuk karya.
Suasana biasa saja, sampai seorang "tamu" tak diundang muncul.
Ia datang di sebuah malam yang lembab dan lembut. Seekor kambing hitam atau tepatnya, lukisan kambing hitam karya Mas Guntur tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Sosoknya seolah tahu setiap kursi kosong adalah undangan. Seketika, kafe itu terdiam.
Artikel Terkait
Ridwan Kamil Diperiksa KPK, Mobil Mewah dan Aliran Dana Iklan BJB Jadi Sorotan
Di Tengah Duka Bencana, Gubernur Sumbar Batalkan Pesta Pernikahan Anak
Kejagung Selidiki Keterkaitan Pembalakan Liar dengan Banjir Bandang di Sumatera
Bencana Berulang di Sumbar, Sumut, dan Aceh: Alam Murka atau Ulah Manusia?