Terkadang, satu ucapan saja dari seorang pejabat sudah cukup untuk menggambarkan semua yang bobrok dalam birokrasi kita. Kali ini, kata-kata itu keluar dari mulut Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto.
Bayangkan suasana saat itu: tanggal 28 November 2025. Ratusan korban masih tertimbun di bawah lumpur Tapanuli. Ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal. Jalan lintas Sumatera putus total. Di tengah situasi semacam itu, sang Kepala justru menggelar konferensi pers dan melontarkan pernyataan yang maaf sulit dicerna akal sehat.
Coba renungkan. Ratusan nyawa melayang, tapi bagi pejabat tertinggi penanggulangan bencana, yang terjadi cuma "terlihat mencekam di medsos". Sungguh, saya sampai kehilangan kata-kata.
Baru dua hari kemudian, tepatnya 30 November, beliau akhirnya terbang ke Tapanuli Selatan. Baru turun dari helikopter, barulah ia menyaksikan langsung kenyataan pahit: lumpur setinggi atap rumah, jenazah-jenazah yang baru dievakuasi, serta wajah-wajah pilu warga yang memeluk foto keluarga mereka yang hilang.
Jadi begitu? Baru percaya setelah melihat sendiri dengan mata kepala? Artinya, selama ini keputusan yang menyangkut nyawa orang lain diambil dari balik meja yang nyaman di Jakarta, sambil sekadar menyimak linimasa? Baru tersadar bencana itu nyata setelah kaki menginjak lumpur dan hidung mencium bau kematian?
Ini jelas bukan sekadar salah ucap. Lebih dari itu, ini soal mentalitas.
Artikel Terkait
Kobaran Api Hanguskan Rumah di Jelambar, 95 Personel Dikerahkan
Tim Inspektorat Jenderal Kemenkum RI Turun ke Kalbar, Evaluasi Manajemen Risiko 2025 Dimulai
Antusiasme Pelajar SMK Sambut Cak Imin, Soroti Peluang Kerja ke Luar Negeri
Bupati Aceh Tengah Angkat Tangan, Akui Tak Mampu Hadapi Bencana