Sumatra Menjerit: Bencana Berulang, Akar Masalahnya Masih Dibiarin?

- Jumat, 26 Desember 2025 | 21:25 WIB
Sumatra Menjerit: Bencana Berulang, Akar Masalahnya Masih Dibiarin?

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik

Sumatra ibarat tubuh yang kehilangan kulitnya. Hutan-hujan lebat yang dulu jadi pelindung, penyerap hujan, penahan tanah semuanya mengelupas perlahan. Yang tersisa cuma luka menganga. Luka itu, setiap musim hujan tiba, berubah jadi banjir bandang dan tanah longsor. Bencana berulang yang rasanya sudah begitu menjemukan.

Ini bukan lagi soal lingkungan yang diperdebatkan di ruang ber-AC. Deforestasi di sini sudah jadi krisis kemanusiaan nyata. Datang berkala, menagih nyawa dan harta.

Data pemerintah mungkin bicara soal penurunan laju kerusakan. Tapi alam tak pernah pandai berbohong. Lihat saja dari Aceh sampai Lampung. Banjir dan longsor jadi berita rutin. Sungai-sungai besar Batanghari, Musi, Indragiri, Alas tak lagi mengalir tenang. Mereka meluap, membawa lumpur pekat, kayu gelondongan sisa tebangan, bahkan menghanyutkan rumah warga. Air kini bukan berkah, melainkan pesan keras dari hulu: ada yang hancur lebur di sana.

Lagu Lama di Balik Lumpur

Masalahnya sebenarnya sederhana, lagu lama yang diputar berulang: hutan hilang, daya dukung lenyap. Caranya macam-macam. Ada pembalakan liar yang sembunyi-sembunyi. Ada konversi jadi kebun sawit yang punya izin resmi. Ada hutan tanaman industri yang seragam membosankan. Belum lagi nafsu tambang yang mencabik-cabik bukit.

Intinya, ketika tutupan hijau menyusut, tanah kehilangan kemampuannya jadi spons. Hujan yang dulu diserap akar-akar purba, sekarang langsung meluncur di permukaan. Menumpuk di sungai yang kian dangkal, lalu tumpah ruah ke pemukiman.

Yang ironis, setiap bencana datang, sering kali disebut sebagai kejadian "alami". Seolah banjir dan longsor adalah takdir geografis yang tak terelakkan. Padahal? Ini lebih tepat disebut malapetaka buatan manusia. Alam cuma bereaksi atas perlakuan kasar yang kita berikan.

Mesin Pendingin yang Rusak Parah

Dampak paling getir dari semua ini adalah hilangnya fungsi ekosistem sebagai penyangga. Hutan hujan Sumatra itu mesin pendingin alami. Penentu stabilitas air. Sistem yang rumit dan cerdas itu dirusak demi kebun monokultur. Yang runtuh bukan cuma pohon, tapi seluruh keseimbangan.

Tanah di bukit yang kehilangan pegangan akar jadi labil. Siap meluncur kapan saja, apalagi ditimpa hujan yang makin ekstrem akibat perubahan iklim.

Menyelesaikan ini tentu tak cukup cuma dengan normalisasi sungai atau bangun tanggul raksasa. Itu cuma menambal gejala, bukan menyembuhkan penyakit. Tanpa pemulihan hutan di hulu yang radikal, tanpa penegakan hukum yang nyata, dan tanpa koreksi model pembangunan yang rakus lahan, Sumatra akan terus terperangkap dalam lingkaran setan ini.

Infrastruktur yang Paling Vital Justru Terlupakan


Halaman:

Komentar