Mentalitas pejabat yang menganggap video viral di TikTok atau Instagram cuma sebagai "konten", bukan jeritan pilu warga yang kehilangan segalanya. Sebuah pola pikir yang menempatkan parameter birokrasi lebih tinggi daripada fakta bahwa data terakhir 442 orang telah terkubur hidup-hidup.
Kita kerap mengejek pejabat asing yang terkenal dengan ucapan "biarkan mereka makan kue". Rupanya, versi lokalnya adalah "biarkan mereka posting di medsos".
Yang paling menyedihkan, permintaan maaf itu sendiri terasa terlambat dan terkesan terpaksa. Seolah bukan lahir dari kesadaran, melainkan karena desakan publik yang semakin keras. Coba bayangkan, andaikan tidak ada kritik membeludak, mungkin sampai detik ini beliau masih berkeyakinan bahwa banjir bandang mematikan itu cuma tampak seram di layar gawai.
Inilah puncak kegoblokan sesungguhnya: bukan tidak tahu, tapi sengaja tidak mau tahu sampai akhirnya dipaksa untuk tahu. Bukan tidak mampu berempati, tapi memilih untuk tidak melakukannya sampai situasi tidak lagi memberi pilihan.
Semoga ada ampunan untuk kita semua yang kerap hanya diam, membiarkan pejabat dengan mentalitas seperti ini tetap duduk di kursi empuknya. Sementara rakyat yang seharusnya dilindungi, justru terkubur lumpur sambil menunggu "verifikasi lapangan" yang tak kunjung tuntas.
(Ruly Achdiat Santabrata)
Artikel Terkait
Helikopter TNI Turunkan Bantuan untuk Desa Sibalanga yang Terisolasi
Paus Leo XIV Kunjungi Masjid Biru, Tapi Tolak Ajakan Berdoa
SMKN 1 Bandung Pacu Lulusan ke Pasar Global, Dukungan Nyata untuk SMK Go Global
Sahabat Tewas Dibacok Botol Pecah Usai Pesta Miras di Diskotek Surabaya