Ketika Dunia Seragam, Siapa Aku Sebenarnya?

- Selasa, 25 November 2025 | 21:06 WIB
Ketika Dunia Seragam, Siapa Aku Sebenarnya?

Ingat masa kecil dulu? Waktu itu, jadi diri sendiri rasanya cukup. Setiap orang punya keunikan masing-masing, punya warna dan suara khas yang tak perlu disamakan dengan siapa pun. Tapi sekarang? Rasanya dunia malah merayakan keseragaman. Jadi orang yang 'mirip' seringkali dapat pujian, sementara yang 'beda' dicurigai.

Coba buka media sosial. Polanya nyaris sama semua. Gaya bicara, cara berpakaian yang harus hype, sampai opini yang ikut-ikutan arus. Bahkan hobi pun kadang diikuti bukan karena suka, tapi sekadar biar tidak ketinggalan. Kalau tren bilang A, kita merasa aneh kalau masih suka B. Ini kebebasan atau malah penjara?

Ngomong-ngomong, saya sendiri sering mikir: apa sih preferensi saya yang asli? Atau jangan-jangan semuanya cuma hasil dari pengaruh yang merayap diam-diam? Dari musik yang saya putar, kata-kata yang saya pakai, sampai cara saya tertawa berapa persen yang benar-benar milik saya sendiri?

Di internet, identitas seolah jadi produk. Bisa dibentuk ulang, dipoles, disesuaikan dengan ekspektasi pasar. Kita sembunyikan sisi-sisi yang kurang laku, hilangkan bagian yang terlalu jujur, lalu jual versi diri yang paling aman. Ironisnya, semua produk identitas itu akhirnya terlihat mirip sekali.

Kita ingin tampak menarik, tapi caranya ya itu-itu lagi. Sama semua.

Yang bikin ngeri, banyak dari kita nggak sadar kalau 'kesamaan' udah jadi norma baru. Takut beda, karena beda berarti aneh. Takut nggak relevan, karena relevansi sekarang jadi tolak ukur harga diri. Takut salah langkah, soalnya konsekuensinya bisa berat bukan cuma malu, tapi bisa kena cancel massal di kolom komentar.

Jadinya, ikut-ikutan jadi strategi bertahan hidup. Kalau orang lain diterima dengan cara tertentu, ya kenapa nggak tiru saja resep mereka?

Logikanya simpel: aman ya sama.

Platform digital juga seolah nggak suka hal yang terlalu unik. Konten yang serupa lebih gampang dipromosiin: remix, remake, "versi gue", dan seterusnya. Algoritma bekerja seperti penjaga gerbang relevansi nentuin siapa yang layak dilihat dan siapa yang harus dilupakan.

Di titik ini, kreativitas kehilangan greget. Ia nggak lagi menantang kebiasaan, malah tunduk pada apa yang lagi ramai.

Mereka yang beda mungkin benar, tapi di mata algoritma, mereka bisa dianggap nggak penting.

Kita sering banget menyesuaikan diri dengan selera umum, sampai lupa bentuk asli kita seperti apa. Kita jadi aktor yang lupa naskah aslinya, karena terlalu lama memerankan karakter orang lain.


Halaman:

Komentar