Lalu, bagaimana faktanya di lapangan?
Penerimaan pajak netto turun 3,9% secara tahunan. Sementara restitusi malah naik 36,4%.
Artinya apa? Negara mengembalikan lebih banyak uang ke wajib pajak. Bisa karena aktivitas bisnis sedang lesu, atau karena ada overpayment yang harus dikoreksi.
Dirjen Pajak sendiri bilang, “Restitusi melonjak… sehingga penerimaan neto menurun.”
Itu bahasa birokrasi yang halus. Di balik kalimat rapi dan teknokratis itu, maknanya cuma satu: ekonomi lagi ngos-ngosan.
Memperbaiki situasi ini cuma bisa lewat disiplin fiskal yang nyata. Pangkas anggaran populis, fokus perbaiki iklim bisnis yang ramah, dan tegakkan hukum yang tak bisa dibeli. Cukup itu saja.
Tanpa langkah konkret, semua hanya omong kosong. Yang tumbuh cuma elite dan oligarki. Sementara rakyat kecil yang miskin harta dan miskin literasi akan terus percaya ekonomi bakal meroket 6–8%. Sebab, dalam negara yang sedang merosot, harapan palsu memang lebih menghibur ketimbang kenyataan pahit. Sayangnya, realitas fiskal tak bisa disogok dengan retorika.
Artikel Terkait
Penggerebekan TNI di Kutai Barat Berujung Walk-out, Ada Apa?
Sultan B. Najamudin Desak Pembentukan Satgas Darurat untuk Atasi Maraknya Bullying
BKN Buka Puluhan Ribu Formasi Baru dan Ubah Aturan Karier ASN
Dua Tersangka Pemalakan Berhasil Diringkus, Dua Lainnya Masih Diburu Polisi