EDITORIAL JAKARTASATU: Kekuasaan yang Tak Ingin Usai
Kekuasaan itu seharusnya mandat dari rakyat, untuk rakyat. Tapi kenyataannya? Begitu banyak penguasa yang sulit melepaskan jabatannya. Daya pikat kekuasaan ternyata terlalu manis untuk ditinggalkan begitu saja.
Ambisi bertahan dalam jabatan yang sejatinya sementara sering berubah jadi penyakit politik berbahaya. Bahkan bisa dibilang mematikan.
Nah, ketika kekuasaan dikejar bukan lagi untuk mengabdi, melainkan sekadar mempertahankan privilege dan kepentingan pribadi, prinsip demokrasi pun mulai keropos. Yang lebih parah lagi, ada yang sampai melakukan cara-cara absurd demi tetap berkuasa.
Mekanisme pembatasan jabatan sebenarnya dirancang untuk mencegah tirani. Tapi dalam praktiknya, aturan itu sering jadi formalitas belaka. Gampang sekali dinegosiasikan oleh mereka yang haus pengaruh.
Dalihnya selalu mulia: stabilitas nasional, kelanjutan pembangunan, atau klaim suara rakyat. Namun di balik semua retorika itu, yang ada sebenarnya cuma kecemasan kehilangan kendali. Ketakutan terhadap perubahan yang tak lagi bisa mereka kendalikan. Fenomena seperti ini bukannya berkurang, malah makin merajalela.
Kekuasaan yang membandel biasanya membawa serta praktik buruk. Korupsi sumber daya merajalela, kebebasan dibatasi, batas etika politik dikaburkan. Kritik langsung dicap sebagai ancaman, sementara oposisi dipinggirkan secara sistematis.
Aturan main demokrasi pun dimodifikasi seenaknya. Tujuannya cuma satu: melanggengkan kekuasaan. Hukum pun tak luput dari permainan mereka.
Artikel Terkait
Perjalanan 36 Tahun Guru Ida: Gaji Rp 750 Ribu dan Setia Menembus Macet Surabaya
Kisah Savina dan Seragam Sekolah yang Tertimbun Abu Semeru
Makan Bergizi Gratis: Antara Cita-Cita Besar dan Realitas di Lapangan
Dari Fobia Sentuhan Hingga Autisme, 5 Drakor Ini Angkat Kisah Karakter dengan Kondisi Psikologis Langka