Begitu satu akun 'dirujak' atau diserang, ribuan orang lain ikut-ikutan menyerang tanpa benar-benar paham duduk permasalahannya. Semua dilakukan demi solidaritas semu, atau sekadar takut ketinggalan tren (FOMO). Ditambah lagi, identitas anonim di media sosial membuat orang semakin mudah melepas tanggung jawab moralnya. Mereka lupa, di balik akun yang mereka hujat, ada manusia nyata dengan perasaan yang bisa terluka.
Intinya Ada di Literasi
Semua masalah ini bermuara pada satu hal: rendahnya literasi digital. Meski penetrasi internet kita tinggi, kemampuan masyarakat untuk menelaah informasi masih sangat rendah. Banyak pengguna internet kita yang "gagap teknologi" secara kultural. Mereka memegang alat canggih seperti smartphone, tapi mentalitas komunikasinya masih feodal dan dikuasai emosi. Prinsip "saring sebelum sharing" seolah tidak ada.
Kualitas nalar kritis kita, seperti yang kerap disinggung dalam isu pendidikan nasional, memang butuh perbaikan yang serius. Ini bukan sekadar soal bisa baca tulis, tapi juga tentang bagaimana menyikapi informasi.
Mengembalikan Kesantunan Bangsa
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Jika kita bangga disebut bangsa yang ramah, maka keramahan itu harus tercermin juga di dunia maya. Kewarganegaraan masa kini menuntut kita tidak hanya taat hukum di jalan raya, tapi juga beradab di jalan maya.
Menghentikan jari untuk tidak mengetik komentar jahat saat emosi adalah bentuk patriotisme baru. Memverifikasi berita sebelum menyebarkannya adalah bela negara di era informasi. Bayangkan, jika ruang sipil kita terus dipenuhi racun kebencian, kitalah yang akhirnya rugi. Kita akan kehilangan wadah diskusi yang sehat, yang justru sangat kita butuhkan untuk memajukan bangsa ini bersama-sama.
Artikel Terkait
Prabowo dan Dasco Bahas Isu Hukum dalam Pertemuan Tertutup di Hambalang
Empat Pencuri Ayam Ternak di Minut Diringkus Saat Beraksi Malam Hari
Gus Yahya Bantah Terima Surat Ultimatum Mundur dari Ketua Umum PBNU
Banding Razman Arif Nasution Ditolak, Vonis 1,5 Tahun Penjara Dikuatkan