Dunia Maya Indonesia: Antara Senyum Ramah dan Cacian di Kolom Komentar

- Sabtu, 22 November 2025 | 18:06 WIB
Dunia Maya Indonesia: Antara Senyum Ramah dan Cacian di Kolom Komentar

Predikat "netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara" yang pernah disematkan pada warganet Indonesia ternyata bukan isapan jempol belaka. Di balik keramahan senyum di dunia nyata, ada watak yang sama sekali berbeda begitu jari-jari mereka menyentuh layar ponsel. Coba saja buka kolom komentar di media sosial. Penuh dengan cacian, makian, perundungan siber, hingga penyebaran hoaks yang seolah tak ada saringannya.

Fenomena ini jauh lebih serius dari sekadar kenakalan digital. Ini adalah alarm, sebuah krisis kewarganegaraan baru di mana etika berbangsa di ruang publik digital perlahan-lahan luntur. Media sosial yang seharusnya jadi jembatan komunikasi, justru kerap berubah menjadi arena pertempuran yang sengit.

Polarisasi politik pasca pemilu masih terasa begitu kental, misalnya. Perbedaan pendapat sekarang jarang disikapi dengan argumen yang masuk akal. Lebih sering, semuanya berujung pada serangan personal yang memecah belah masyarakat menjadi kubu "kita" melawan "mereka". Rasanya, ruang untuk diskusi yang sehat semakin sempit.

Ruang Gema yang Mematikan Akal Sehat

Salah satu biang keroknya adalah algoritma media sosial. Tanpa kita sadari, algoritma ini menciptakan ruang gema atau echo chamber. Kita cenderung hanya mengikuti dan berteman dengan akun-akun yang sepemikiran. Akibatnya, kita jadi merasa pandangan kitalah yang paling benar. Pandangan lain dianggap sebagai ancaman.

Nah, ketika ada informasi yang berbeda, respons pertama seringkali bukan verifikasi, melainkan antipati. Di sinilah hoaks dan disinformasi menemukan lahan suburnya. Netizen tak lagi mencari kebenaran, melainkan pembenaran. Ujaran kebencian pun dikemas indah dengan dalih "kebebasan berpendapat", padahal jelas-jelas itu adalah pelanggaran terhadap hak orang lain untuk merasa aman.

Dikuasai Mentalitas Kerumunan

Perilaku beringsut di dunia maya juga kerap dipicu oleh herd mentality. Seseorang yang mungkin pendiam di dunia nyata, tiba-tiba bisa berubah menjadi agresor di dunia digital karena merasa punya "banyak teman" yang mendukung.


Halaman:

Komentar