CATATAN: Ayman Rashdan Wong
analis internasional dari Malaysia
Pertemuan Trump dan Mamdani benar-benar di luar dugaan. Bayangkan saja, setelah berbulan-bulan menyerang Mamdani habis-habisan dengan cap "komunis" dan ancaman pemotongan anggaran untuk New York, Trump justru menyambut tamunya di Gedung Putih dengan senyum lebar. Tak ada sedikit pun kesan permusuhan.
Yang mengejutkan, suasana pertemuan itu sangatlah sopan. Berbeda dari kebiasaan Trump yang kerap menyelipkan sarkasme atau ejekan terhadap lawan politiknya. Semua berjalan lancar, sampai akhirnya seorang jurnalis mencoba memancing dengan pertanyaan provokatif kepada Mamdani: apakah dia masih menganggap Trump seorang "fasis" seperti yang pernah diucapkannya dulu?
Di sinilah momen tak terduga terjadi. Alih-alih tersinggung, Trump malah tersenyum dan berkata kepada Mamdani, "Jawab saja 'ya', saya tidak peduli dengan julukan itu."
Respon Mamdani pun tak kalah diplomatis. Meski dikenal vokal mendukung Palestina dan sering mengkritik kebijakan Trump, dia memilih tidak "meninju" wajah Trump secara verbal saat bertatap muka. Sikapnya terukur, bahasa yang dipilihnya aman.
"Saya telah menyampaikan kepada Presiden tentang kejahatan genosida yang dilakukan Israel," ujarnya, "dan kekhawatiran banyak warga New York bahwa uang pajak mereka dihabiskan untuk Israel, bukan untuk kesejahteraan mereka sendiri."
Tak ada tuduhan langsung bahwa Trump bersekongkol dengan Israel. Trump sendiri mendengarkan dengan sikap hormat di sampingnya.
Inilah realitas politik sesungguhnya. Betapapun sengitnya pertarungan di media, ketika sudah bertemu langsung, yang diperlukan adalah kebijaksanaan dan kedewasaan. Bahkan terhadap musuh sekalipun.
Banyak media pun memuji sikap Trump yang tak biasa ini. Ini bukan sosok Trump yang biasa mereka gambarkan lebih kalem, lebih terkendali. Mungkin dia sedang kehabisan energi setelah heboh dengan kasus Epstein File, atau barangkali hanya sedang tak mood berdebat. Siapa tahu, besok atau lusa dia sudah kembali melontarkan serangan seperti biasa.
Yang justru lebih menarik sebenarnya adalah latar ideologi kedua tokoh ini. Trump mewakili sayap kanan jauh dengan "konservatisme nasional"-nya, sementara Mamdani berasal dari kubu kiri jauh yang mengusung "sosialisme demokratis". Dua kutub yang dianggap ekstrem dalam peta politik Amerika.
Sepuluh tahun lalu, hampir tak ada yang membayangkan perwakilan dari kedua ideologi ini bisa sampai menduduki Gedung Putih.
Sebelum era Trump, politik Amerika didominasi oleh apa yang disebut "neoliberal-globalisme" selama lebih dari tiga dekade. Intinya sederhana: ekonomi pasar bebas adalah yang terbaik, pemerintah jangan ikut campur, beri kebebasan penuh pada swasta. Privatisasi layanan publik digencarkan, pengeluaran pemerintah dipangkas.
Dampaknya merambah ke kebijakan luar negeri. Perusahaan Amerika butuh pasar global, maka pemerintah pun berperan menciptakan sistem dunia tunggal lewat globalisasi. Negara yang menolak sistem ini harus siap menghadapi intervensi.
Artikel Terkait
Langkah Karyawan Telkom di GBK Berbuah Bibit Mangrove
Dedi Mulyadi Ungkap Konsep Kuno Sunda untuk Tangkal Bencana Alam
Pasangan Suami Istri Hadapi Dakwaan Penyiksaan PMI, Jaminan Ditetapkan 20 Ribu Ringgit
Dandim Mimika Ramaikan Festival Dayung dan Seni Budaya di Pomako