Kolonialisme Berjubah Baru: Menguak Jebakan Ketergantungan Pasca-Kemerdekaan

- Sabtu, 22 November 2025 | 08:25 WIB
Kolonialisme Berjubah Baru: Menguak Jebakan Ketergantungan Pasca-Kemerdekaan

Hukum dibuat lentur dan fleksibel. Hukum karet semacam ini memudahkan kriminalisasi terhadap musuh politik sekaligus perlindungan bagi kawan sejawat. Seperti dikatakan Levitsky dan Ziblatt, ini bukan hukum yang mati, melainkan hukum yang elastis.

Birokrasi sengaja dibuat berbelit seperti labirin. Kerumitan birokrasi membuka ruang untuk barter kekuasaan. Setiap "gesekan" dalam administrasi menjadi mesin uang gelap yang tak pernah berhenti berputar.

Sementara ekonomi dibiarkan bersifat oligarkis. Data World Inequality Database 2024 menunjukkan Indonesia termasuk 10 negara dengan ketimpangan aset tertinggi di Asia. Sekitar 20% orang terkaya menguasai 75-80% kekayaan nasional. Ini bukan kecelakaan sejarah, melainkan desain ekonomi politik yang disengaja.

Elite yang Berenang dalam Kolam yang Sama

Lantas, mengapa tidak ada elite – baik di dalam maupun luar pemerintahan – yang benar-benar peduli? Jawabannya sederhana: karena mereka semua berenang dalam kolam yang sama. Meski terlihat bertengkar di televisi, sebenarnya itu hanya sandiwara.

Politik Indonesia ibarat drama panggung. Di layar, kita melihat oposisi melawan pemerintah. Tapi di belakang layar, yang terjadi adalah transaksi, alokasi proyek, dan pembagian zona rente. Elite politik, bisnis, militer, ormas, hingga media – semua terikat dalam apa yang disebut cartelized democracy. Ini adalah demokrasi yang sudah diprivatisasi.

Mereka adalah kelas feodal baru: penjaga akses kekuasaan yang hanya mewakili 20% populasi – mereka yang punya jabatan, aset, dan jaringan modal.

Ketimpangan yang Telah Menjadi Kenyataan

Mari kita lihat fakta empiris yang ada. Satu persen penduduk menguasai lebih dari 40% aset finansial. Sepuluh persen penduduk menguasai lebih dari 72% total kekayaan nasional. Sementara 80% rakyat harus hidup dari hanya sekitar 20% porsi ekonomi nasional.

Kalau ekonomi diibaratkan rumah, maka 80% rakyat hanyalah penyewa kamar kos. Sementara 20% elite adalah pemilik seluruh rumah, lengkap dengan halaman, gudang, dan semua kunci cadangannya.

Penutup: Bukan Kekurangan Potensi, Tapi Kejujuran

Pada akhirnya, harus diakui bahwa Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Tidak kekurangan SDM. Juga tidak kekurangan peluang untuk maju.

Yang hilang adalah kemauan politik – dan kemauan itu hilang karena para elite tidak membutuhkan kemandirian nasional untuk bertahan hidup. Yang mereka butuhkan hanya tiga hal: kekuasaan, akses rente, dan jaringan internasional.

Plus rakyat yang cukup miskin untuk bergantung, cukup sibuk untuk sekadar bertahan hidup, dan cukup pasrah untuk tidak melawan.

Indonesia bukan gagal karena tidak bisa maju. Indonesia tertahan karena ada yang sengaja menahan.

Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat dan Director Executive HIAWATHA Institute


Halaman:

Komentar