MK Pangkas Tugas Perwira Polri di Lembaga Sipil, Reformasi atau Gangguan Operasional?

- Jumat, 21 November 2025 | 15:06 WIB
MK Pangkas Tugas Perwira Polri di Lembaga Sipil, Reformasi atau Gangguan Operasional?

Suara-suara sumbang bermunculan menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang perwira aktif menduduki jabatan publik. Bagi sebagian kalangan, langkah ini dinilai terlalu drastis. Mereka bilang, keputusan ini mengabaikan kebutuhan praktis negara yang selama ini mengandalkan keahlian teknis, pengalaman intelijen, dan kapasitas manajerial para jenderal di lembaga strategis—sesuatu yang jarang dimiliki pejabat sipil biasa.

Kekhawatiran terbesarnya? Fleksibilitas pemerintah dalam merespons ancaman keamanan nontradisional bisa terhambat. Ancaman semacam ini kan butuh penanganan lintas sektor yang lincah.

Nah, di sinilah pangkal persoalannya. Lihat saja siapa saja yang kena imbas: Komjen Setyo Budiyanto di KPK, Komjen Marthinus Hukom di BNN, lalu ada Komjen Eddy Hartono di BNPT, dan Komjen Albertus Rachmad Wibowo yang memimpin BSSN. Belum lagi Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho di Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Komjen Nico Afinta di Kemenkumham. Mereka semua ditugaskan di institusi yang memerlukan keahlian teknokratis tinggi.

Di sisi lain, melepas mereka begitu saja di saat lembaga-lembaga itu sedang menangani isu laten—korupsi, narkotika, terorisme, keamanan siber, hingga potensi kejahatan kelautan—bisa mengganggu kesinambungan kebijakan yang sudah berjalan. Bagi yang tidak setuju, putusan MK ini terkesan terlalu prinsipil, tapi abai terhadap realitas operasional di lapangan.

Perspektif Demokrasi dan Kebutuhan Reformasi

Tapi dalam negara demokrasi, prinsip pemisahan fungsi institusi keamanan dari jabatan politik dan birokrasi sipil itu fondasinya kokoh. Tidak bisa dikompromikan.

Samuel Huntington, ilmuwan politik Amerika yang teorinya tentang "objective civilian control" jadi rujukan global, menegaskan bahwa profesionalisme militer dan kepolisian justru berkembang kalau mereka tidak terjun ke dalam pengelolaan kekuasaan sipil.

Dalam kerangka teori itu, keberadaan perwira aktif di jabatan publik—seberapa pun strategisnya—berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, bias institusional, dan ketidakseimbangan hubungan sipil–keamanan.

Konteks Indonesia pun makin memperkuat relevansi prinsip ini. Di bawah pemerintahan Jokowi, persoalan mendasar di tubuh Polri makin kentara. Mulai dari akuntabilitas, korupsi, pelanggaran HAM, sampai merosotnya kepercayaan publik. Puncaknya terjadi saat gelombang protes besar Agustus 2025 yang menewaskan sedikitnya 10 orang dan memicu penangkapan aktivis.

Dalam lanskap demokrasi, situasi semacam ini menunjukkan bahwa reformasi Polri bukan cuma urusan teknokratis. Ini soal koreksi struktural terhadap relasi kekuasaan yang bertahun-tahun mengalami distorsi.


Halaman:

Komentar