Suara-suara sumbang bermunculan menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang perwira aktif menduduki jabatan publik. Bagi sebagian kalangan, langkah ini dinilai terlalu drastis. Mereka bilang, keputusan ini mengabaikan kebutuhan praktis negara yang selama ini mengandalkan keahlian teknis, pengalaman intelijen, dan kapasitas manajerial para jenderal di lembaga strategis—sesuatu yang jarang dimiliki pejabat sipil biasa.
Kekhawatiran terbesarnya? Fleksibilitas pemerintah dalam merespons ancaman keamanan nontradisional bisa terhambat. Ancaman semacam ini kan butuh penanganan lintas sektor yang lincah.
Nah, di sinilah pangkal persoalannya. Lihat saja siapa saja yang kena imbas: Komjen Setyo Budiyanto di KPK, Komjen Marthinus Hukom di BNN, lalu ada Komjen Eddy Hartono di BNPT, dan Komjen Albertus Rachmad Wibowo yang memimpin BSSN. Belum lagi Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho di Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Komjen Nico Afinta di Kemenkumham. Mereka semua ditugaskan di institusi yang memerlukan keahlian teknokratis tinggi.
Di sisi lain, melepas mereka begitu saja di saat lembaga-lembaga itu sedang menangani isu laten—korupsi, narkotika, terorisme, keamanan siber, hingga potensi kejahatan kelautan—bisa mengganggu kesinambungan kebijakan yang sudah berjalan. Bagi yang tidak setuju, putusan MK ini terkesan terlalu prinsipil, tapi abai terhadap realitas operasional di lapangan.
Perspektif Demokrasi dan Kebutuhan Reformasi
Tapi dalam negara demokrasi, prinsip pemisahan fungsi institusi keamanan dari jabatan politik dan birokrasi sipil itu fondasinya kokoh. Tidak bisa dikompromikan.
Samuel Huntington, ilmuwan politik Amerika yang teorinya tentang "objective civilian control" jadi rujukan global, menegaskan bahwa profesionalisme militer dan kepolisian justru berkembang kalau mereka tidak terjun ke dalam pengelolaan kekuasaan sipil.
Dalam kerangka teori itu, keberadaan perwira aktif di jabatan publik—seberapa pun strategisnya—berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, bias institusional, dan ketidakseimbangan hubungan sipil–keamanan.
Konteks Indonesia pun makin memperkuat relevansi prinsip ini. Di bawah pemerintahan Jokowi, persoalan mendasar di tubuh Polri makin kentara. Mulai dari akuntabilitas, korupsi, pelanggaran HAM, sampai merosotnya kepercayaan publik. Puncaknya terjadi saat gelombang protes besar Agustus 2025 yang menewaskan sedikitnya 10 orang dan memicu penangkapan aktivis.
Dalam lanskap demokrasi, situasi semacam ini menunjukkan bahwa reformasi Polri bukan cuma urusan teknokratis. Ini soal koreksi struktural terhadap relasi kekuasaan yang bertahun-tahun mengalami distorsi.
Artikel Terkait
Terowongan Hamas di Rafah: Lorong Bawah Tanah 7 Kilometer dengan 80 Kamar yang Bikin IDF Terkagum-kagum
Soedjono Hoemardani: Rasputin Indonesia di Balik Takhta Soeharto
Pohon Tumbang di Ring Road Utara Tewaskan Dua Orang yang Sedang Berhenti
Trump Berang, Ancam Hukuman Mati untuk Anggota Kongres Demokrat