Demokrasi di Ujung Tanduk: Proyeksi Gerakan Sipil ASEAN dan Ujian Berat Indonesia

- Kamis, 20 November 2025 | 19:50 WIB
Demokrasi di Ujung Tanduk: Proyeksi Gerakan Sipil ASEAN dan Ujian Berat Indonesia

Narasi universal seperti "Demokrasi adalah vaksin untuk krisis iklim" atau "Revisiisme otoriter mengancam rantai pasok dan batas planet" diperkirakan akan tetap efektif. Mengapa? Karena mereka berhasil menghubungkan isu demokrasi dengan keberlanjutan ekonomi-ekologis serta stabilitas regional—sesuatu yang mudah dipahami banyak orang.

Kasus Indonesia: Ekstraktivisme dan Faktor Militer

Indonesia menjadi arena penting dalam konteks ini. Ekspansi ekstraktivisme—mulai dari perkebunan sawit, tambang emas, hingga nikel—serta rencana pengambilalihan lahan hutan untuk food estate memicu resistensi dari berbagai pihak: masyarakat adat, organisasi lingkungan, dan serikat buruh.

Di saat bersamaan, penempatan TNI melalui batalyon pembangunan dalam program birokrasi diperkirakan akan meningkatkan tantangan akuntabilitas. Inilah yang disebut civil-military friction—ketegangan yang muncul ketika institusi militer masuk ke ranah pemerintahan sipil, berpotensi melemahkan akuntabilitas demokratis.

Dalam lima tahun ke depan, dorongan untuk transparansi publik dan posisi masyarakat sipil yang telah terinstitusionalisasi dalam berbagai UU akan menguji batas-batas keterlibatan militer dalam birokrasi pembangunan. Resistensi terhadap ekstraktivisme akan memanfaatkan modular repertoires dengan menggabungkan advokasi legal, aksi taktis berisiko rendah, solidaritas lintas negara, serta framing yang menautkan keadilan sosial-buruh-lingkungan. Hasilnya? Biaya politik untuk proyek ekstraktif yang tidak transparan akan semakin membesar.

Nasionalisme Sumber Daya dan Dimensi Keadilan

Resource nationalism adalah sikap masyarakat atau negara yang menolak eksploitasi sumber daya oleh aktor eksternal—dengan tujuan menjaga kedaulatan ekonomi dan ekologis. Sementara justice dimensions mencakup keadilan distributif (siapa yang dapat manfaat), prosedural (bagaimana keputusan dibuat), dan pengakuan (penghormatan hak komunitas adat dan buruh).

Di Indonesia, tuntutan atas ketiga bentuk keadilan ini diperkirakan akan semakin terhubung dengan gerakan demokrasi modular. Imbasnya, proyek-proyek ekstraktif akan semakin ditekan untuk tunduk pada standar akuntabilitas yang lebih tinggi.

Analisis Skenario 2025–2027

Dalam horizon proyeksi ini, setidaknya ada tiga skenario utama yang bisa menggambarkan interaksi antara masyarakat sipil ASEAN, ekstraktivisme, dan dinamika Indonesia.

Skenario Terbaik: Masyarakat sipil yang terinstitusionalisasi berhasil memperkuat akuntabilitas; modular repertoires mempercepat difusi aksi damai dan advokasi yang efektif; di Indonesia, peran batalyon pembangunan dibatasi secara teknis, transparansi meningkat, dan resistensi terhadap proyek ekstraktif menghasilkan perbaikan regulasi keberlanjutan.

Skenario Paling Mungkin: Masyarakat sipil bertahan di tengah represi selektif; difusi modular tetap terjadi namun dengan adaptasi yang lebih hati-hati; di Indonesia, keterlibatan militer dalam birokrasi berlanjut tapi diimbangi tekanan publik; keberhasilan resistensi terhadap ekstraktivisme bersifat parsial—bergantung pada sektor dan wilayah.

Skenario Terburuk: Authoritarian resilience—kapasitas rezim otoriter untuk bertahan melalui represi, kooptasi, dan manipulasi institusional—meningkat; kriminalisasi terhadap NGO dan pengawasan digital melemahkan difusi modular; di Indonesia, batalyon pembangunan berubah menjadi instrumen kontrol politik, proyek ekstraktif melaju tanpa transparansi, memicu konflik sosial dan degradasi ekologis yang parah.

Implikasi Strategis

Pada akhirnya, kemampuan masyarakat sipil ASEAN dalam memanfaatkan democratic modular movement pada 2025–2027 akan menjadi penentu penting. Mereka akan berperan menyeimbangkan dorongan ekstraktivisme dengan tuntutan akuntabilitas publik.

Indonesia, sekali lagi, menjadi studi kasus utama. Kombinasi antara ekspansi ekstraktif dan militerisasi birokrasi menuntut strategi gerakan yang cerdas—yang mampu menghubungkan isu demokrasi, keadilan buruh, hak adat, dan keberlanjutan ekologis melalui modular repertoires yang adaptif. Bagi para analis kebijakan, fokus pada kecepatan difusi, keterhubungan isu, dan ketahanan jaringan transnasional akan menjadi kunci untuk membaca baik risiko maupun peluang di masa depan.


Halaman:

Komentar