Di sisi lain, Prabowo menekankan harapan besarnya terhadap jembatan ini. Ia yakin Kabanaran akan mendongkrak perekonomian DIY. "Jadi kita berharap sangat membantu aktivitas ekonomi dan pariwisata," tegasnya. Rencananya, pemerintah akan membina UMKM dan menyediakan fasilitas yang memadai agar sektor ini bisa mendorong pariwisata. Tak hanya itu, pembangunan hotel bernuansa kearifan lokal juga akan didukung. "Memang kita harus dorong pariwisata karena pariwisata adalah penyumbang devisa yang sangat besar dan adalah penyerap lapangan kerja yang sangat besar pula," jelas Prabowo. Ia pun membocorkan kabar gembira: sektor pariwisata tahun ini meningkat 20 persen.
Permintaan Khusus untuk Penyambutan
Namun begitu, ada satu hal yang mengusiknya. Dalam perjalanan menuju lokasi, ia disambut oleh banyak anak sekolah yang berjejer di pinggir jalan. Meski terkesan, ia justru merasa kasihan. "Saya terkesan tapi saya kasihan juga mereka berdiri lama di panas," katanya. Karena itu, ia meminta Letkol Teddy untuk mengeluarkan surat edaran agar para kepala daerah tak lagi mengerahkan anak-anak sekolah untuk menyambutnya. "Biarlah mereka di sekolah masing-masing, kalau mereka mau lihat bisa mungkin dari TV dan kalau saya mau periksa, saya akan masuk ke ruang kelas saja," tuturnya.
Makna di Balik Nama Kabanaran
Lalu, apa arti nama Kabanaran? Ternyata, nama ini dipilih langsung oleh Sultan HB X. Menurut Ditya Nanaryo Aji dari Dinas Kominfo DIY, nama ini punya nilai historis yang dalam. Jembatan ini berada di kawasan yang dulu menjadi markas perjuangan Pangeran Mangkubumi, atau Sultan Hamengku Buwono I, melawan Belanda. Saat itu, daerah itu dikenal sebagai Desa Kabanaran.
Di desa inilah, pada 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja dengan gelar 'Sunan Kabanaran'. Peristiwa itu terjadi setelah kabar bahwa Susuhunan Pakubuwana II sakit. Pengikutnya kemudian menobatkannya sebagai Raja Mataram di Kabanaran. Di sini pula, ia memerintahkan pembangunan keraton dan pemukiman, menjadikan Kabanaran seperti kota yang makmur dengan pasar dan berbagai acara besar. Gelar Sunan Kabanaran melekat padanya hingga akhirnya berubah menjadi Sultan Hamengku Buwana I setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Kini, nama itu dihidupkan kembali. Bukan sekadar penanda fisik, melainkan pengingat akan semangat perjuangan dan kebersamaan yang dulu mengantarkan Pangeran Mangkubumi pada takhtanya.
Artikel Terkait
Ayah dan Anak Terkapar Usai Disiram Air Keras di Pamulang
Delapan Tersangka Kasus Ijazah Palsu Jokowi Dilarang Keluar Negeri
Hujan Deras Tumbangkan Pohon dan Tiang Listrik di DI Panjaitan, Lalu Lintas Sempat Lumpuh
KUHAP Nasional Dinilai Ancam Hak Terdakwa, Lebih Buruk dari Hukum Kolonial?