Harmoni Akal dan Iman: Relevansi Pemikiran Al-Ghazali vs Ibn Rusyd di Era Digital

- Selasa, 18 November 2025 | 06:06 WIB
Harmoni Akal dan Iman: Relevansi Pemikiran Al-Ghazali vs Ibn Rusyd di Era Digital

Harmoni Akal dan Iman: Dialog Abadi Al-Ghazali dan Ibn Rusyd

Dalam hiruk-pikuk dunia digital, umat Islam sering dihadapkan pada dikotomi semu: antara rasionalitas ekstrem dan penolakan total terhadap akal. Melihat ke masa keemasan peradaban Islam, kita menemukan dialog mendalam antara dua tokoh besar: Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.

Dua Poros Peradaban: Spiritualitas dan Rasionalitas

Imam Al-Ghazali, melalui magnum opus-nya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), menyoroti batas-batas akal dalam memahami realitas ketuhanan. Ia mengkritik filsuf yang menafsirkan wahyu semata-mata melalui logika, dengan tegas menyatakan bahwa akal harus tunduk pada bimbingan wahyu.

Al-Ghazali menggambarkan hubungan ini dengan metafora yang powerful: "Akal ibarat mata, dan wahyu ibarat cahaya. Mata tidak berguna tanpa cahaya." Pernyataan ini tercatat dalam karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin Juz 1.

Respons Ibn Rusyd: Rasionalitas yang Beriman

Ibn Rusyd, filsuf dan faqih dari Andalusia, merespons melalui Tahafut at-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan). Ia menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara akal sehat dan wahyu yang sahih, karena keduanya bersumber dari Tuhan yang sama.

"Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran," tegas Ibn Rusyd dalam pendahuluan karyanya. Baginya, filsafat bukanlah ancaman bagi iman, melainkan alat untuk memahami pesan Ilahi lebih mendalam.

Pertemuan Dua Metode Menuju Kebenaran

Perdebatan kedua tokoh ini sebenarnya merupakan pertemuan dua metode pencarian kebenaran yang saling melengkapi. Al-Ghazali menekankan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sebagai jalan menuju pengenalan Tuhan, sementara Ibn Rusyd mengedepankan nadzar dan istidlal (perenungan dan penalaran).

Dalam Bidayatul Mujtahid, Ibn Rusyd menunjukkan bagaimana rasionalitas dapat berharmoni dengan keimanan. Ia menganalisis perbedaan pendapat antar mazhab dengan metodologi yang sistematis, membuktikan bahwa perbedaan interpretasi muncul dari keragaman berpikir, bukan kurangnya iman.


Halaman:

Komentar