"Kami tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana berdoa. Kami sudah muak dengan pembantaian. Semoga kehendak Tuhan saja yang terjadi," kata seorang penatua dari gereja di Desa Kasanga, dilansir dari Syriac Press, Senin (24/2/2025).
Lembaga-lembaga lokal, termasuk gereja, sekolah, dan pusat kesehatan, telah menghentikan operasinya karena meningkatnya ketidakamanan. Direktur Sekolah Dasar Kombo Muhindo Musunzi mengatakan, kegiatan pendidikan telah dipindahkan ke daerah yang lebih aman karena ketakutan menyebar ke seluruh wilayah.
Keluarga Dilarang Kuburkan Para Korban
Bahkan beberapa hari setelah pembantaian, beberapa keluarga tidak dapat menguburkan orang yang mereka cintai karena ancaman yang terus berlanjut. Sumber melaporkan, teroris ADF tidak mengizinkan para pemimpin Kristen menguburkan umatnya yang meninggal selama sekitar lima hari. Banyak umat Kristen meninggalkan daerah tersebut karena takut pembantaian berlanjut.
Open Doors AS melaporkan, 95 persen warga yang tinggal di DRC beragama Kristen. ADF melancarkan pemberontakan yang menargetkan komunitas Kristen dengan cara-cara brutal. Serangan ADF telah meluas dari wilayah Beni di Provinsi Kivu Utara ke Irumu dan Mambasa di Provinsi Ituri, sejak 2014.
Serangan kini meluas ke Lubero. Menurut laporan setempat, dalam sebulan terakhir saja, lebih dari 200 orang telah tewas di Baswagha Chiefdom. Kekerasan tersebut memaksa puluhan ribu orang meninggalkan rumah mereka
Sumber: inews
Artikel Terkait
Trump Siap Tawarkan Jet F-35 dalam Pertemuan Bersejarah dengan Putra Mahkota Saudi
MBS Terima Surat Rahasia Iran Sebelum Bertemu Trump: Apa Isi dan Maksudnya?
Ancaman Operasi Militer AS ke Venezuela: Maduro Peringatkan Gaza Baru di Amerika Selatan
Pemain Sepak Bola Israel Ditangkap Diduga Rudapaksa Turis AS, Netizen Geram!