Dua hari setelahnya, dia tidak masuk sekolah. Katanya, masih pusing. Obat pereda nyeri pun sepertinya tak cukup. Sampai hari ini, matanya masih lebam. Di sudut malam yang sunyi, saya menangis, memohon pada Sang Penyembuh.
Berkali-kali saya tanya padanya, "Apakah temanmu itu sudah minta maaf?"
"Enggak," jawabnya singkat.
Kecewa? Tentu saja. Permintaan maaf yang sederhana saja tak datang. Ini bukan soal si anak, tapi lebih pada pembiasaan. Rupanya, kebiasaan baik itu tak tumbuh di lingkungan terdekat anak saya.
Saya percaya, tiga kata ajaib tolong, terima kasih, maaf bisa jadi fondasi hidup yang baik. Bagaimana kita membiasakannya dalam keseharian, itu yang penting.
Itu juga yang saya coba tanamkan pada sulung saya. Mudah? Jangan ditanya. Penolakannya kerap muncul, apalagi di usianya yang masih balita. Ego "aku"-nya masih sangat besar.
Kejadian ini, ditambah kekecewaan karena sekolah tak memfasilitasi permintaan maaf, akhirnya mendorong saya menulis. Menerjemahkan kegelisahan ini. Saya hanya berharap, anak saya tumbuh jadi pribadi yang welas asih, pandai bersyukur, dan berani mengakui kesalahan.
Dan semoga juga, di luar sana, di negeri ini, masih ada ruang untuk kata "maaf" dari mereka yang berkuasa. Bukan karena dipaksa atau dimaki, tapi datang dari kesadaran sendiri. Agar anak saya, dan semua anak, bisa tumbuh di lingkungan terbaik, di mana tiga kata ajaib itu masih berarti.
Artikel Terkait
Jaja Miharja Kembali Dirawat, Irfan Hakim Sambangi Bintang Apaan Tuh
Insanul Fahmi Seret Kasus ke Bareskrim, Jalan Damai Diklaim Mentok
Mimpi Jadi Miskin? Bisa Jadi Alarm Batin untuk Kembali ke Hal Esensial
My Chemical Romance Batal di Hammersonic, Gelar Konser Tunggal di JIS