Maaf yang Tak Kunjung Datang: Seorang Ibu dan Luka yang Mengajarkan Arti Permintaan Maaf

- Minggu, 21 Desember 2025 | 07:06 WIB
Maaf yang Tak Kunjung Datang: Seorang Ibu dan Luka yang Mengajarkan Arti Permintaan Maaf

Sudah lama rasanya tak menulis. Dunia ini, ya, kadang serasa hanya tentang hiruk-pikuk dan kesibukan yang tak jelas ujungnya. Terakhir saya ambil pena, gara-garanya sederhana: tulisan di label camilan anak saya terlalu kecil, nyaris mustahil dibaca. Padahal, itu kan semacam alarm, peringatan buat saya, buat kamu, buat kita semua para orang tua. Intinya: lebih perhatikan apa yang masuk ke mulut anak-anak kita.

Suasana sore itu sendu. Pikiran melayang ke kejadian seminggu lalu. Suami mengirimkan foto lengan sulung saya, ada coretan hitam bekas tusukan pensil. Di tengah riuhnya kantor, saya seorang ibu baru berusaha tetap kalem. Saya kirim pesan suara, tanya si kecil ceritanya bagaimana. Dengan riang, dia bercerita: habis main, dia tusuk-tusuk lengan temannya pakai pensil tumpul, lalu dibalas temannya itu dengan pensil tajam. Mendengar ceritanya yang ceria, dan tak ada kabar lanjutan dari ayahnya, saya pun kembali tenang, tenggelam dalam setumpuk laporan.

Pulang kerja, macet, ditambah gerimis sepanjang jalan. Rencana cuma satu: main dengan si kecil. Tapi begitu lihat lengannya, hati saya langsung ciut. Lukanya meradang, bengkak, dan karbon pensil itu tertancap dalam. Susah dikeluarkan. Dia meringis menahan sakit. "Potek hati Amma, Nak," gumam saya. Setelah beberapa usaha, akhirnya sebagian besar kotoran itu bisa dibersihkan.

Perasaan campur aduk. Saya nasihati dia lagi: jangan main yang bahaya, jangan sakiti orang. Tak lupa, saya ingatkan untuk minta maaf pada temannya. Tapi dia malah beralasan, "Tapi 'kan dia sudah balas, Ma. Buat apa minta maaf?"

Kesabaran saya yang tipis itu diuji. Saya coba jelaskan dengan nada yang naik turun, bahwa minta maaf itu soal menurunkan ego. Tidak ada ruginya. Justru kebaikan yang akan didapat. Hari itu, saya peluk dia erat. Saya rapal doa, semoga Allah selalu menjaganya, karena kehadiran saya tak mungkin selamanya.

Keesokan paginya, cerah. Saya baru nyalakan laptop, sarapan belum habis. "Tring!" Ada pesan dari guru sulung saya. Isinya foto anak saya menangis, dengan benjol sebesar bola tenis di jidatnya.

Guru itu menjelaskan panjang lebar: dia terpental, menghantam tiang bendera, setelah ditubruk teman yang berlari kencang.

Hati saya langsung remuk. Langsung saya hubungi orang tua untuk menjemputnya secepatnya. Tak perlu banyak tanya, yang penting dia dapat penanganan yang tepat.


Halaman:

Komentar