"Saya menghabiskan waktu memilah baju-baju yang baru kembali dari laundry," jelasnya. Kriteria utamanya? Pakaian yang "tidak terlihat murah" dan tentu saja, "tidak akan membuat saya diremehkan."
Setelah proses yang melelahkan, pilihannya jatuh pada setelan andalannya: kombinasi jaket dan dress yang sering dia kenakan. Meski begitu, dia merasa ini mungkin bukan solusi jangka panjang.
"Mungkin saya perlu berinvestasi dalam busana-busana yang pantas untuk negosiasi diplomatik," tuturnya, mengakhiri curhatannya.
Cerita ini langsung ramai dibahas netizen. Banyak yang bertanya-tanya, kenapa justru urusan baju yang diangkat, bukan isu kebijakan luar negeri yang lebih substantif. Pertanyaan itu wajar, mengingat posisinya sebagai pemimpin.
Namun begitu, pengaruh Takaichi di dunia fashion lokal memang nyata. Sebagai perdana menteri perempuan pertama, gaya berbusananya mendapat sorotan tajam. Gaya khasnya dress selutut, blazer, tas tangan, dengan warna biru yang dominan dideskripsikan rapi, klimis, dan formal sempurna.
Bahkan, muncul sebutan "Sana-katsu" untuk para perempuan yang menjadi pendukungnya dan meniru gaya kantoran sang pemimpin. Mereka seolah melihat Takaichi tidak hanya sebagai figur politik, tetapi juga ikon gaya yang patut dicontoh. Jadi, meski cerita soal lemari baju itu mengundang tanya, pengaruhnya di luar dunia politik ternyata tak bisa dipandang sebelah mata.
Artikel Terkait
Mister Aladin Gencar Beri Cashback Rp350 Ribu, Liburan Akhir Tahun Makin Hemat
Marcell Darwin Tantang Citra Diri lewat Peran Suami Selingkuh di Film Religi
Di Tengah Gugatan Cerai, Atalia Fokus Kirim Bantuan untuk Korban Banjir Aceh
Séance Adrian Gan: Ketika Kain Ratusan Tahun dan Imaji Surealis Bertemu di Atas Panggung