Ingat harga kakao yang melesat ke rekor tahun lalu? Nah, sekarang trennya berbalik arah. Bahkan, penurunannya disebut-sebut yang paling tajam dalam sejarah. Tapi jangan buru-buru senang. Kabar baik ini rupanya belum sampai ke rak-rak supermarket.
Harga cokelat batangan, permen, atau cokelat Santa musiman itu masih akan tetap mahal untuk waktu yang lama. Rasanya, beban konsumen belum akan berkurang.
Lonjakan harga tahun lalu yang hampir tiga kali lipat memukul telak industri. Produsen besar maupun kecil masih bergulat dengan stok biji kakao mahal yang mereka beli di puncak harga. Mereka terpaksa menaikkan harga jual, dan itu belum berakhir. Bahkan, banyak yang sudah mengubah resep, mengurangi kandungan kakao, atau mengecilkan ukuran produk. Perubahan seperti itu tidak mudah dibalikkan dalam sekejap.
Kapan harga cokelat baru bisa turun? Pelaku industri dan analis memperkirakan, paling cepat paruh kedua tahun depan. Itu pun belum tentu. Jadi, di tengah beban harga daging sapi dan kopi yang juga naik, cokelat mungkin harus berpindah dari daftar belanja rutin.
“Harga yang saat ini dihadapi industri cokelat sangat tinggi dan memberatkan,” kata Analis Komoditas, Jonathan Parkman di London.
“Akan butuh waktu cukup lama bagi kita untuk mengatasi hal itu,” imbuhnya.
Dari Puncak ke Jurang
Ceritanya berawal dari gagal panen. Wabah penyakit dan cuaca ekstrem menghantam perkebunan di Pantai Gading dan Ghana dua raksasa pemasok lebih dari separuh kakao dunia. Akibatnya, harga kakao sempat nyaris sentuh angka fantastis: USD 13.000 per ton.
Tapi situasi berubah. Prospek panen mulai membaik, permintaan melemah, dan kekhawatiran pasokan jangka panjang mereda. Harga pun terjun bebas. Menurut Bloomberg, sepanjang tahun ini harganya sudah anjlok sekitar 50 persen. Bisa jadi ini penurunan tahunan terdalam sejak pencatatan dimulai puluhan tahun silam.
Gejolak itu meninggalkan bekas yang dalam. Produsen dari skala rumahan hingga korporat besar di Eropa dan AS harus berjuang mencari pasokan sambil menjaga agar bisnis tetap jalan. Banyak yang terpukul. Dan dalam kondisi seperti ini, jangan harap mereka buru-buru menurunkan harga jual.
Ambil contoh Lambertz, produsen permen tertua di Jerman. Mereka punya stok kakao yang cukup hingga pertengahan 2026, karena membelinya saat harga sedang tinggi-tingginya. Hermann Bühlbecker, pemilik yang sudah setengah abad mengabdi di perusahaan itu, mengaku belum pernah melihat kenaikan harga seganas ini.
“Seingat saya, belum pernah terjadi ledakan harga seperti ini,” katanya.
Keputusan menimbun itu mahal. Biaya tahunan mereka melonjak sekitar €150 juta. Mau tak mau, beban itu dibebankan ke konsumen, meski volume penjualan akhirnya turun.
Artikel Terkait
Saham Kapal Melaju Kencang, BBRM dan LEAD Pacu Rally Sektor Maritim
Rupiah Tersungkur ke Rp16.750, Dihajar Dolar dan Kekhawatiran Fiskal
Bank Mandiri Perkuat Dewan Komisaris dengan Wajah-wajah Baru
Perak Cetak Rekor Baru, Kalahkan Emas dalam Balapan Logam Mulia