Sudah lama sekali, teori ekonomi dianggap sebagai peta utama untuk memahami perilaku pasar dan kebijakan publik. Tapi coba lihat sekarang. Dunia ekonomi bergerak begitu liar, dan banyak teori yang dulu kita pegang teguh mulai terasa janggal. Bukan karena teorinya salah, ya. Masalahnya, dunia tempat teori itu lahir sudah jauh berbeda.
Bayangkan saja. Dulu, ketika teori-teori klasik dirumuskan, belum ada internet. Media sosial? Belum ada. Arus informasi real-time? Jangan harap. Perubahan berjalan pelan, sehingga asumsi tentang perilaku manusia yang stabil dan mudah ditebak masih masuk akal.
Namun begitu, semuanya berubah drastis. Cara kita bekerja, berinteraksi, bahkan menghabiskan uang, semuanya berubah total. Wajar saja kalau model-model ekonomi konvensional seringkali gagal menangkap realitas yang serba cepat ini. Kebutuhan dan preferensi kita sekarang jauh lebih dinamis, reaktif, dan mudah terpengaruh oleh persepsi publik. Akibatnya, kondisi ceteris paribus yang jadi dasar banyak analisis nyaris mustahil ditemukan di lapangan.
Ambil contoh persamaan paling mendasar: Y = C I G (X − M). Secara prinsip, rumus ini masih sah dan tetap jadi kerangka penting. Tapi, setiap huruf dalam persamaan itu sekarang punya lapisan makna baru yang rumit.
Lihat komponen C, konsumsi. Dalam buku teks, konsumsi sangat bergantung pada pendapatan. Saat ini? Ekspektasi dan sentimen publik bisa berbalik dalam hitungan menit karena sebuah pemberitaan atau tren di media sosial. Pengaruh seorang influencer terkadang lebih kuat daripada kenaikan gaji bulanan.
Begitu juga dengan I, investasi. Investor masa kini tak cuma mengandalkan data fundamental. Mereka juga harus peka terhadap rumor, isu geopolitik, dan bahkan psikologi pasar yang bisa berubah-ubah. Modal bisa kabur ke negara lain secara instan, dipicu oleh satu cuitan atau berita viral.
Di sisi lain, komponen G belanja pemerintah seringkali menghadapi masalah di lapangan. Birokrasi yang lamban, koordinasi yang berantakan, dan penyerapan anggaran yang molor, bisa membuat stimulus fiskal kehilangan tenaga. Alhasil, multiplier effect yang dijanjikan teori tak kunjung terwujud.
Belum lagi munculnya variabel-variabel baru yang belum tercakup dalam model klasik. Pajak digital, ekonomi kreator, aset kripto, hingga kecerdasan buatan. Dunia modern tak cuma menambah variabel, tapi juga menciptakan pola interaksi yang sama sekali baru.
Artikel Terkait
Anugrah Argon Medica Resmi Jadi Ujung Tombak Distribusi Merck di Indonesia
Wall Street Dibuka Lesu, Nvidia Goyang Jelang Keputusan The Fed
Pemerintah Pacu Penerimaan Rp 23 Triliun dari Bea Keluar Emas dan Batu Bara
BRI Palembang Kumpulkan 155 Kantong Darah di HUT ke-130