Ekspor bulan November memang tumbuh 15,1 persen year-on-year, menjadi USD 39,1 miliar. Tapi pertumbuhannya lebih lambat dari perkiraan. Bahkan dibanding bulan Oktober, ekspor justru turun 7,1 persen.
Sebaliknya, impor malah naik 16 persen jadi USD 38 miliar. Kenaikan ini didorong kebutuhan bahan baku, peralatan, dan suku cadang untuk menopang produksi. Dan China tetap menjadi sumber impor terbesar mereka.
Kepala Departemen Perdagangan dan Harga, Nguyen Thu Oanh, memberikan penjelasan.
“Surplus yang mengecil terutama karena impor yang meningkat pesat, didorong kebutuhan produksi, khususnya di manufaktur berorientasi ekspor. Karena itu, ekspor ke depan diperkirakan masih akan tumbuh solid,” ujarnya.
Faktanya, perusahaan-perusahaan memang sedang meningkatkan produksi. Mereka menyiapkan stok untuk ekspor akhir tahun dan konsumsi dalam negeri. Produksi manufaktur pada November naik 11,8 persen dibanding tahun lalu.
Pemerintah Vietnam punya target ambisius: pertumbuhan ekonomi minimal 10 persen per tahun dalam lima tahun ke depan. Tapi tarif dan ketidakpastian global bisa jadi penghalang besar. Kuartal lalu, ekonominya tumbuh 8,2 persen tercepat dalam tiga tahun sebagian karena pabrik-pabrik bergegas mengirim barang sebelum aturan tarif baru benar-benar berlaku.
Namun begitu, outlook ke depan tak terlalu cerah. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksikan pertumbuhan Vietnam akan lebih moderat: sekitar 6,2 persen tahun depan, dan 5,8 persen pada 2027. Lemahnya permintaan global disebut-sebut akan membatasi ekspor mereka, meski untuk tahun ini, performanya masih terbilang kuat.
Artikel Terkait
BEI Catat 24 IPO Sepanjang 2025, 13 Perusahaan Lain Masih Antre
IHSG Diproyeksi Stagnan di 8.600-8.700, Fokus Investor Beralih ke The Fed
RLCO Siap Melantai, Eksportir Sarang Walet Incar Pasar China
Mirae Asset Soroti Emas dan Konsumsi sebagai Penopang Ekonomi Indonesia di 2026