Nur Syamsi Syam, Direktur di Bapeten, mengonfirmasi bahwa pembahasan serius telah dilakukan dengan Kemenperin. “Sepertinya sudah ada surat edaran diwajibkan untuk memasang RPM di industri yang menggunakan scrap metal,” ungkapnya dalam sebuah konferensi pers.
Di sisi lain, kapasitas industri peleburan dalam negeri ternyata cukup besar. Harry mencatat, kapasitas terpasang untuk mengolah scrap atau limbah logam mencapai 7 juta metrik ton. Namun, kebutuhan aktual saat ini hanya sekitar 2 juta MT, dengan komposisi impor scrap menyumbang 1,3 juta MT.
Dari pihak pemerintah, Sabbat Christian Jannes dari Kemenko Pangan mengakui bahwa akar masalah di Cikande memang bermula dari industri peleburan. Meski demikian, ia menyebut masih diperlukan pengaturan lebih lanjut untuk industri yang menyerap logam bekas rongsokan seperti PT Peter Metal Technology (PMT), yang menjadi sumber paparan radiasi waktu itu.
Selain di pabrik, upaya pengawasan juga diperkuat di pintu masuk. Pemerintah mulai memasang Radiation Portal Monitor di beberapa pelabuhan utama yang menerima kargo impor. Tanjung Priok, misalnya, sudah melakukan inspeksi lanjutan terhadap barang-barang yang dicurigai memiliki tingkat radiasi tinggi.
Jadi, langkahnya sudah mulai bergerak. Dari pelabuhan hingga ke pabrik, pemantauan akan diperketat. Tujuannya jelas: mencegah terulangnya kejadian seperti di Cikande, dan menjaga keamanan bersama.
Artikel Terkait
Surplus Dagang Vietnam ke AS Tembus Rekor, Tarif Trump Tak Berdaya
RLCO Siap Melantai, Eksportir Sarang Walet Incar Pasar China
Mirae Asset Soroti Emas dan Konsumsi sebagai Penopang Ekonomi Indonesia di 2026
Desember Tanpa Cuti, DJP Pacu Target Pajak 2025 Sementara Lokasi PLTN Masih Digodok