Pola serupa ternyata tak cuma terjadi di Indonesia. Menurut catatan International Labour Organization (ILO), di banyak negara berpendapatan menengah, discouraged workers menjadi komponen kunci dari pemanfaatan tenaga kerja yang tidak optimal.
Lonjakan 11 persen dalam setahun ini konsisten dengan temuan lembaga-lembaga pembangunan lain. Laporan Bank Dunia, misalnya, menyimpulkan bahwa dua pertiga pekerjaan di Indonesia masih berkategori produktivitas rendah. Mayoritas tenaga kerja kita pun hanya berpendidikan menengah pertama atau di bawahnya.
Akibatnya, persaingan di pasar kerja jadi sangat ketat, terutama bagi mereka yang berpendidikan rendah, minim pengalaman, atau punya keterampilan yang sudah ketinggalan zaman. Di sisi lain, sistem informasi pasar kerja kita dinilai masih lemah. Pencari kerja seringkali kebingungan, tidak tahu jelas lowongan apa yang tersedia dan skill apa yang dibutuhkan.
Jika dibiarkan berlarut, keadaan ini berisiko memperlebar kesenjangan. Akan terbentuk jurang antara mereka yang bisa menangkap peluang ekonomi baru dan mereka yang sudah menganggap pasar kerja sebagai tempat yang tidak ramah.
Intinya, angka 1,87 juta itu lebih dari sekadar statistik. Itu adalah potret nyata dari hilangnya harapan, dan itu masalah kita bersama.
Artikel Terkait
WIFI Suntik Rp807,5 Miliar ke Anak Usaha untuk Genjot Bisnis Internet Fiber
OJK Permudah Aturan, Industri Gadai Siap Berbenah
Nataru 2025: 119,5 Juta Perjalanan dan Tantangan Cuaca Ekstrem
VKTR Dijebloskan ke Papan Khusus Usai Suspensi Ketiga