Siklon Bukan Bencana Alam, Melainkan Cermin Kelalaian Kita

- Selasa, 30 Desember 2025 | 19:06 WIB
Siklon Bukan Bencana Alam, Melainkan Cermin Kelalaian Kita

Cuaca ekstrem. Itu selalu jadi kalimat pembuka kita setiap kali bencana datang. Kedengarannya wajar, ilmiah bahkan. Tapi justru di situlah akar persoalannya. Persoalannya bukan cuma seberapa kencang angin atau seberapa lebat hujan saat siklon tropis makin sering muncul di sekitar Indonesia. Yang jauh lebih penting adalah: seberapa siap cara pikir kita menghadapi perubahan iklim yang sudah tak kenal batas-batas lama.

Selama ini, bencana selalu dilihat sebagai sesuatu yang datang tiba-tiba. Sebuah kejutan dari alam. Siklon dianggap anomali, hujan deras disebut kejutan musiman. Padahal, di tengah iklim yang terus berubah, cara pandang seperti itu malah bikin kita selalu ketinggalan. Fenomena alam tak berubah jadi bencana cuma karena kekuatannya. Ia jadi bencana karena kita gagal mengantisipasi dampaknya secara sosial, tata ruang, dan kebijakan.

Kita sering menyebut siklon tropis sebagai bencana alam. Padahal, siklon itu sendiri sebenarnya fenomena fisik yang netral. Ia baru berubah jadi malapetaka saat bertemu dengan masyarakat yang tak siap, tata ruang yang amburadul, dan kebijakan yang terlepas dari ilmu pengetahuan. Karena itu, sebenarnya siklon lebih tepat disebut sebagai bencana pengetahuan. Akumulasi dari kegagalan kita membaca tanda, menghubungkan data, dan mengubah sains jadi keputusan nyata.

Puluhan tahun lamanya, Indonesia hidup tenang dengan satu asumsi besar: kita aman dari siklon karena letaknya dekat ekuator. Asumsi ini dulu masuk akal secara klimatologi, tapi jadi berbahaya ketika berubah jadi dogma. Perubahan iklim global sudah mengacak-acak banyak batasan yang dulu kita anggap pasti. Suhu laut naik, energi atmosfer bertambah, sistem cuaca makin tak menentu. Berpegang pada asumsi lama di tengah situasi baru ini? Itu namanya kelalaian kolektif.

Data sebenarnya ada. Kapasitas observasi cuaca kita juga terus berkembang. Bibit siklon dipantau, peringatan dini dikeluarkan. Tapi seringkali, pengetahuan itu mentok di laporan. Ia tak jadi dasar untuk mengubah kebijakan secara nyata. Informasi cuaca ekstrem jarang benar-benar dipakai untuk menata ulang ruang, mengelola daerah aliran sungai, atau mengevaluasi izin lahan. Sains jalan sendiri, kebijakan jalan sendiri. Masyarakat di tengah yang akhirnya menanggung semua risiko.


Halaman:

Komentar