Selingkuh itu salah. Titik. Hampir semua budaya sepakat soal itu, mengaitkannya dengan pengkhianatan dan kebohongan. Tapi coba lihat lebih dekat: banyak orang yang berselingkuh ternyata tidak merasa dirinya monster jahat. Bahkan, rasa penyesalan yang mendalam pun seringkali tak kunjung datang. Kok bisa?
Pertanyaan itu mengganggu, bukan? Kalau memang salah, kenapa pelakunya bisa tidur nyenyak, menjalani hari seperti biasa? Apa mereka memang tak punya nurani, atau ada sesuatu yang bekerja di balik layar pikiran mereka?
Jawabannya, menurut psikologi, jauh lebih rumit dari sekadar soal baik dan buruk. Otak kita punya cara-cara liciknya sendiri untuk melindungi kita untuk menjaga gambaran tentang diri kita sebagai orang yang baik, tetap utuh.
Pertaruhan Citra Diri: Tetap Ingin Dianggap Baik
Pada dasarnya, kita semua ingin melihat diri sendiri sebagai pribadi yang bermoral dan rasional. Citra diri ini adalah fondasi harga diri kita. Nah, masalah mulai menganga ketika tindakan kita dalam hal ini, berselingkuh bertabrakan frontal dengan nilai-nilai yang kita yakini itu.
Tabrakan itu menciptakan kegelisahan mental. Di satu sisi, ada prinsip kesetiaan. Di sisi lain, ada kenyataan bahwa kita telah menginjak-injak prinsip itu. Psikolog menyebut keadaan tidak nyaman ini sebagai cognitive dissonance.
Dan otak kita benci sekali dengan perasaan tak nyaman itu. Maka, ia akan berupaya mati-matian mencari jalan keluar.
Bukan Menghapus, Tapi Mengubah Cerita
Yang menarik, kebanyakan pelaku selingkuh tidak menyangkal fakta. Mereka tahu apa yang diperbuat. Tapi yang diubah adalah narasinya cara mereka memaknai seluruh peristiwa itu.
Dalam sebuah penelitian, banyak responden mulai membingkai ulang perselingkuhan mereka. Bukan lagi sekadar kesalahan, melainkan sebuah "pengalaman hidup" atau bahkan "jalan untuk mengenali diri". Bagi sebagian, ia jadi titik balik untuk menilai hubungan yang sedang dijalani. Bagi yang lain, ia adalah bentuk pemberontakan atas rasa kesepian.
Dengan strategi ini, jarak antara tindakan buruk dan citra diri sebagai orang baik berhasil dijembatani. Seseorang bisa bergumam dalam hati, "Ya, aku salah. Tapi bukan berarti aku orang jahat."
Pembenaran yang (Mereka Rasakan) Masuk Akal
Narasi yang dibangun seringkali berpusat pada apa yang terjadi sebelum perselingkuhan. Perasaan diabaikan, kesepian yang mendalam, atau kebutuhan emosional yang tak terpenuhi dalam hubungan utama.
Artikel Terkait
Jaringan Telekomunikasi Sumbar Bangkit Pasca Bencana, Pulih Hampir 100%
Samsung Luncurkan Galaxy Tab A11+, Tablet 5G dengan AI di Bawah Rp 4 Juta
Dari Mario Kart ke Fortnite: Bagaimana Game Mengubah Cara Otak Anak Merespons Hadiah
Survei Ungkap 64% Konsumen Masih Kecewa Setelah Barang Tiba, Blibli Luncurkan Solusi No Blabla