Mengapa Pelaku Selingkuh Sering Tak Merasa Bersalah? Ini Kata Psikologi

- Kamis, 18 Desember 2025 | 22:06 WIB
Mengapa Pelaku Selingkuh Sering Tak Merasa Bersalah? Ini Kata Psikologi

Dengan fokus beralih ke konteks emosional itu, tindakan selingkuh sendiri seolah menjadi konsekuensi yang lebih bisa dimengerti sebuah respons, bukan inisiatif jahat semata. Ini mekanisme pertahanan diri. Beban bersalah terasa lebih ringan ketika kita merasa diri adalah korban dari keadaan juga.

Tanggung jawab moral tidak lenyap begitu saja. Tapi tekanan psikologisnya berkurang drastis. Harga diri pun selamat dari kehancuran.

Soal Penyesalan: Bukan Hitam Putih

Ini mungkin temuan yang mengejutkan: banyak pelaku menyatakan mereka tidak menyesal. Tapi hati-hati, "tidak menyesal" itu artinya kompleks.

Itu tidak serta-merta berarti mereka ingin mengulanginya. Banyak yang memilih untuk tidak mengulang, meski tak menyesali pengalaman lampau itu. Rasa penyesalan dan keputusan untuk berubah ternyata dua hal yang bisa terpisah.

Ketidaksesalan seringkali menandakan bahwa pengalaman itu telah berhasil diolah dan diserap ke dalam identitas diri tanpa merobeknya berkeping-keping. Sementara keputusan untuk tidak mengulang lahir dari pertimbangan lain: melihat risiko, memikirkan dampaknya, atau sekadar karena prioritas hidup sudah berubah.

Dari Kesalahan Jadi "Guru"

Banyak yang akhirnya menyebut perselingkuhan sebagai "pelajaran hidup yang berharga". Dari kacamata psikologi, ini langkah yang cerdas. Dengan mengubah kesalahan menjadi guru, otak melakukan sihirnya: rasa malu diubah jadi bahan refleksi, kekeliruan diberi makna, dan identitas diri tetap terjaga sebagai sosok yang terus belajar dan berkembang.

Narasi semacam ini memungkinkan seseorang merasa utuh kembali, meski baru saja melakukan pelanggaran besar terhadap komitmennya sendiri.

Lalu, Untuk Apa Memahami Semua Ini?

Memahami mekanisme psikologis ini sama sekali bukan pembenaran. Tapi ini membantu kita melihat bahwa perilaku manusia bahkan yang terlihat keji tidak selalu bermula dari niat jahat yang tulus. Terkadang, ia justru lahir dari upaya nekat untuk menyelamatkan kesehatan mental sendiri, meski dengan cara yang keliru dan merugikan orang lain.

Ketika ancaman terhadap citra diri terasa lebih mendesak dan menyakitkan daripada pelanggaran moral, otak akan memilih jalan pintasnya sendiri. Ia akan membelokkan realita, mengubah cerita, agar kita bisa terus hidup berdampingan dengan diri sendiri.

Itulah mungkin yang menjelaskan mengapa, setelah badai perselingkuhan usai, sebagian orang bisa melangkah pergi dengan tenang, seolah tak ada beban berarti yang mereka tinggalkan.


Halaman:

Komentar