Di luar rumah, dunia terasa lebih luas dan bebas. Main layangan sampai tangan koreng, berebut jadi Power Ranger merah, atau meniru gerakan Kamen Rider. Kami berlarian tanpa tujuan jelas dari siang sampai suara azan magrib berkumandang. Itu tanda waktu main habis. Pulang. Besok masih ada hari lagi.
Teknologi mulai masuk perlahan. Tapi punya batas yang jelas. Ponsel jadul seperti Nokia atau Sony Ericsson cuma dipakai untuk hal penting: telepon, SMS singkat, atau main Snake. Setiap SMS ditulis dengan hati-hati, setiap pulsa dijaga. Saat BlackBerry dan BBM ramai, saya cuma bisa mengamati dari pinggir. Tidak punya, tapi ikut merasakan demamnya.
Warnet jadi jendela pertama kami melihat dunia luar. Yahoo!, mIRC, game online dari monitor tabung yang sering ada gambar lumba-lumba atau pemandangan. Setiap jam dihitung, setiap menit berharga. Rental PlayStation? Itu surga kecil yang sering berakhir dengan orang tua datang menjemput dengan muka masam. Selalu ada akhir. Selalu ada batas. Dan justru karena ada batas itulah, waktu terasa panjang dan berarti.
Sekarang? Semua serba terhubung. Tapi anehnya, kita justru jarang benar-benar hadir. Semua bisa diulang, dipercepat, dikejar sekaligus dari genggaman satu tangan. Ironisnya, waktu malah terasa makin cepat menghilang. Tidak ada lagi jeda yang memaksa kita berhenti sejenak, menarik napas.
Mungkin karena itu, diam-diam kami melakukan perlawanan kecil: menawar usia. Menjelang 2026, yang lahir 1990 tetap kami sebut "umur 26", 1991 jadi "25", dan seterusnya. Bukan kami tidak bisa berhitung. Tapi lebih karena kelelahan menerima kenyataan bahwa hidup melesat terlalu kencang. Mengurangi angka itu cara paling sopan untuk menunda pengakuan: bahwa masa ketika waktu terasa panjang dan penuh, sudah tertinggal jauh di belakang.
Pada akhirnya, mungkin waktu sendiri tidak berubah. Cara kita mengalaminyalah yang berbeda. Dulu, hidup diisi oleh momen-momen kecil yang kami rawat: rasa bosan, penantian, kerinduan. Sekarang, semuanya mengalir deras tanpa sekat. Kita bergerak cepat, tapi sering lupa untuk merasakannya. Kalau hari ini waktu terasa kejam, barangkali bukan karena ia berlari. Tapi karena kita terlalu sibuk mengejarnya, sampai lupa untuk sekadar berjalan di sisinya.
Masih banyak cerita lain yang tersimpan. Kenangan yang mungkin hanya hidup di ingatan kami yang pernah melewatinya. Sulit dituliskan satu per satu. Tapi itulah yang membuatnya spesial.
Artikel Terkait
Mister Aladin Siapkan Cashback Rp 350 Ribu untuk Liburan Akhir Tahun
Menhub Dudy Ingatkan Keselamatan Laut Jadi Prioritas Jelang Libur Panjang
Pasca Kebakaran Maut, 10 Gedung di Jakarta Terkena Peringatan Resmi
Polisi Tantang Roy Suryo Cs Ajukan Praperadilan Soal Status Tersangka