Heboh lagi. Wacana redenominasi rupiah, atau penyederhanaan nilai mata uang, kembali mencuat di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Intinya, rencana ini ingin mengubah Rp1.000 menjadi cuma Rp1. Gagasan yang sempat ramai itu kini tertuang hitam di atas putih dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, yang menandai peta jalan Kemenkeu untuk lima tahun ke depan. Menariknya, target pemerintah adalah menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi ini pada 2027.
Namun begitu, suasana langsung berubah setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, sang penandatangan aturan, angkat bicara. Belakangan, dia klarifikasi bahwa rencana ini tak akan buru-buru dieksekusi. Purbaya malah menegaskan, wewenang penuh untuk kebijakan semacam ini ada di tangan Bank Indonesia, bukan di Kementerian Keuangannya.
Meski begitu, pro-kontra sudah telanjur menyebar. Dari pejabat, ekonom, sampai masyarakat biasa ramai-ramai memberi tanggapan. Ada yang bilang ini langkah maju untuk efisiensi ekonomi dan meningkatkan kredibilitas rupiah. Tapi tak sedikit yang mengernyitkan dahi, meminta kajian yang lebih matang.
Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, misalnya, mengingatkan soal biayanya yang bisa membengkak.
"Redenominasi bisa menimbulkan biaya besar bagi negara dan masyarakat," katanya, menyebut mulai dari pencetakan uang baru hingga penyesuaian sistem akuntansi yang rumit.
Di sisi lain, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah akan membahasnya secara mendalam. Alasannya jelas: kebijakan ini berpotensi memengaruhi laju inflasi. Perdebatan yang sengit ini pun merambah ke ruang digital, terutama YouTube.
Lihat saja video di kanal IDXChannel berjudul ‘Purbaya Siapkan Redenominasi Rp1.000 Menjadi Rp1, RUU Bakal Rampung 2027’. Diunggah November 2025, video itu ditonton hampir sejuta kali. Tapi yang lebih seru adalah kolom komentarnya ramai dengan lebih dari 6.000 curahan hati, opini, dan debat sengkat warganet.
Fenomena seperti ini mengingatkan kita pada teori "ruang publik" dari filsuf Jerman, Jurgen Habermas. Intinya, ruang publik adalah arena tempat masyarakat bisa berdiskusi secara bebas dan rasional, mengkritik otoritas, dan membentuk opini bersama. Dalam bukunya, Habermas bilang demokrasi yang sehat butuh ruang seperti ini. Tanpanya, demokrasi cuma jadi kedok bagi kekuasaan belaka.
Nah, di era sekarang, ruang publik itu nggak cuma ada di warung kopi atau forum seminar. Ia telah bermigrasi ke dunia online. Dan YouTube, dengan aksesnya yang universal dan sifatnya yang interaktif, adalah salah satu contoh nyatanya. Platform video itu telah menjadi arena wacana baru, termasuk untuk urusan berat seperti redenominasi rupiah.
Di kolom komentar video tadi, publik bebas bersuara. Ada yang mendukung penuh. "Saya sangat mendukung langkah pak purbaya demi memperbaiki kondisi," tulis satu akun. Yang lain lebih sarkastik, "Sangat bagus Pak Purbaya. Lanjutkan biar koruptor yang udah nimbun uang teriak-teriak."
Artikel Terkait
Inflasi China Melonjak ke Level Tertinggi dalam Dua Tahun, Dipicu Kenaikan Harga Pangan
182 Pemukim Israel Masuk Al Aqsa, Lakukan Ritual Talmud di Dekat Kubah Batu
Prabowo Soroti Islam Moderat dan Kerja Sama Kesehatan dengan Pakistan
ADB Naikkan Proyeksi Ekonomi Asia-Pasifik, Didorong Ekspor yang Menggeliat